Sidang pertama pengujian terhadap Pasal 29 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 digelar pada Selasa (19/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 17/PUU-XI/2013.
Aruji Kartawinata adalah Pemohon Prinsipal yang bekerja sebagai Ketua Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi (GNPK) Provinsi DKI Jakarta dan Ketua POSKO Pemantau Peradilan Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi. Pemohon mengungkapkan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya UU tersebut.
Adapun yang menjadi dasar tuntutan Pemohon, Pasal 29 Ayat (1) huruf d yang merupakan bagian dari UU Nomor 2 Tahun 2011. Pasal diatas menjelaskan bakal calon presiden dan wakil presiden yang berasal dari rekrutmen partai politik. Pemohon mengatakan, bahwa dalam perkara tersebut telah menghilangkan hak konstitusional dari Pemohon maupun warga negara Indonesia lain yang tidak masuk anggota partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta Pemilu. “Pasal ini melampaui batas kewenangan dari UU yang lebih tinggi,” imbuh Aruji dihadapan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi didampingi Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Harjono. Aruji mengatakan, dirinya mengajukan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden dari unsur Independen, akan tetapi hal tersebut terhalang karena berlakunya Pasal 29 ayat (1) UU Parpol.
Dia juga mengatakan bahwa hal ini bertentangan UUD 1945 yakni Pasal 28 C Ayat 2. Adapun Pasal 28 C Ayat (2) yang disebut Pemohon berbunyi, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.” Dengan tidak mendapatkannnya jaminan dan kepastian hukum atas pelaksanaan dari UU tersebut, Pemohon merasa perekrutan bakal calon presiden dan wakil presiden itu telah menghalanginya.
Selanjutnya, Panel Hakim memberikan saran perbaikan permohonan kepada Pemohon. Muhammad Alim mengatakan berdasarkan UU MK, bahwa MK memutus berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Adapun dalam pasal tersebut berbunyi: “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasar UUD 1945 berdasar alat bukti dan keyakinan.”
Alim juga menjelaskan, isi pasal 6 A UUD 1945 yang menyatakan bahwa ayat 2, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu. “Jadi Pasal 6 A ayat 2 itu jelas bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik,” ujarnya. Sebagai Informasi, tambah Alim, kalau gubernur dan wakil gubernur didalam UU dikatakan dipilih secara demokratis. “Dan itu diperkenankan oleh MK sebagai calon Independen, tetapi untuk presiden dan wakil presiden belum pernah ada yang dikabulkan disini,” ucapnya, menyarankan Pemohon.
Sementara Harjono, dia mengatakan bahwa secara garis besar sudah cukup oleh kewenangan Mahkamah. Harjono meminta agar permohonan disusun secara rapi dan apa saja ketentuan UU dan mana saja yang memuat kewenangan Mahkamah. “Kedudukan atau legal standing singkat saja,” ujar Harjono.
Sedangkan dari Ketua Panel Ahmad Fadlil Sumadi memberi nasihat agar Pemohon memastikan kedudukan pemohon apakah merupakan perorangan atau sebagai gerakan pemberantas tindakan korupsi. Selain itu, Fadlil Juga mengatakan pokok permohonan agar diuraikan
Sidang berikutnya, dengan agenda perbaikan permohonan akan digelar usai Pemohon memperbaiki permohonannya. Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaikinya atau menarik kembali. “Perbaikan Pemohon diserahkan pada tanggal 4 Maret 2013 di Gedung Mahkamah Konstitusi, apabila Pemohon tidak menyerahkannya maka permohonan dianggap sempurna,” ujar Ahmad Fadlil Sumadi sebelum menutup sidang. (Utami Argawati/mh)