Mahkamah Konstitusi menggelar sidang terakhir terhadap perkara perselisihan hasil Pemilukada Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan nomor 10/PHPU.D-X/2013 di Ruang Sidang Pleno, lantai 2, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (19/2).
Sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD kali ini mendengarkan lanjutan keterangan saksi dari Temohon (KPU Prov. Sulsel). Seorang saksi bernama Abdullah membantah keterangan saksi Pemohon, Jumali dan Muhammad Arif, yang pada sidang sebelumnya mengatakan dirinya berkampanye di masjid dan memaksa memilih nomor urut 2 dengan ancaman tidak akan diberikan raskin.
“Pembagian bantuan dana di masjid, saya tidak tahu, tetapi kalau bantuan masyarakat saya mengetahui,” imbuhnya. Dia juga mengatakan, pembagian bantuan untuk masyarakat dilakukan menjelang Pemilukada.
Pada kesempatan yang sama, Majelis Hakim Konstitusi juga mendengarkan keterangan ahli/saksi dari Pemohon serta ahli dari Pihak Terkait. Ahli dari Pemohon yang diberi kesempatan untuk memberikan keterangan, yaitu Maruarar Siahaan mengatakan bahwa Pemilukada ini darurat demokrasi. Hal ini karena persoalan Pemilukada Sulsel tetap melihat prinsip yang terjadi pada pembaruan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Menurutnya, teori pembuktian yang telah dilakukan di persidangan merupakan kelulusan yang di ibaratkan seperti lapangan bola karena bisa meyakinkan, menggeser pihak lawan keluar dari garis tengah dan biasanya itu yang menjadi pemenang.
Selain itu, kata dia, ada beberapa dalil yang harus dibuktikan. Adapun dalil yang dimaksud adalah KPU (Termohon) mengalihkan dukungan parpol/gabungan parpol. “Pembuktian ini sangat mudah dilakukan, hanya dengan dokumen, kalau terbukti KPU melanggar asas penyelenggara,” ujar Maruarar dihadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai Ketua MK Moh. Mahfud MD serta didampingi Hakim Konstitusi Akil Mochtar dan Anwar Usman.
Kemudian untuk dalil selanjutnnya mengenai isu SARA, Maruarar menjelaskan bahwa isu tersebut berbahaya. Hal ini merupakan tindakan yang menyudutkan di dalam 4 pilar berbangsa di Indonesia. Sedangkan untuk dalil mengenai keikutsertaan Bupati di kabupaten, dia mengatakan bahwa bukti-bukti yang dibawa dalam persidangan tidak seluruhnya tidak benar. “Kekerasan yang dilakukan Bupati merupakan bukti konkret berupa laporan dan respon dari penegak hukum,” paparnya.
“Jika fakta yang terjadi berupa pelanggaran konstitusi khususnya Pasal 18 ayat 4 tentang pemilihan demokratis dan Pasal 22E, maka yurispudensi Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif dengan mana MK mengukur keabsahan Pemilukada dapat dijadikan dasar pembatalan keputusan,” tambah Maruarar.
Sementara, Ansyad Mbai, ahli dari Pihak Terkait yang juga sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menerangkan bahwa, pihaknya lah yang melakukan himbauan kepada masyarakat untuk waspada, karena di Prov. Sulsel rawan terjadi aksi terorisme.
“Kami telah mendeteksi bahwa ada pelatihan yang dilakukan oleh terorisme di daerah perbatasan Prov. Sulsel dan Sulawesi Tengah (Sulteng) ancaman teroris ini nyata dan bukan isu,” ucap Ansyad. Selanjutnya, dia juga mengatakan, isu SARA ini dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil penghitungan suara.
Sebelumnya, dalam permohonannya, Pemohon menyampaikan salah satu dalil yang mengatakan bahwa kekalahannya disebabkan oleh adanya upaya-upaya kampanye yang menggunakan isu terorisme untuk memenangkan Pemilukada.
Di akhir persidangan, Mahfud MD meminta kepada para pihak untuk menyerahkan kesimpulan kepada Majelis paling lambat besok hari Rabu (20/2) pukul 16.00. (Utami Argawati/mh)