Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Selasa (19/2) menggelar sidang perbaikan permohonan Pengujian Pasal 41 ayat (4) Undang-Undang (PUU) No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang teregistrasi dengan nomor perkara 8/PUU-XI/2013. Pemohon perkara ini, yaitu Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang diwakili Bonyamin menyampaikan perbaikan-perbaikan dalam permohonannya.
Bonyamin menyampaikan bahwa pihaknya telah memperbaiki permohonan sesuai saran-saran panel hakim pada sidang pendahuluan yang lalu. Hal-hal yang diperbaiki antara lain, susunan kewenangan Mahkamah, legal standing, kerugian konstitusional dan faktual, dan norma yang diujikan. “Susunan kewenangan, legal standing, kerugian, dan norma yang diuji sudah saya jelaskan. Lalu pokok permohonan dan kaitannya dengan norma materi yang diujikan serta batu ujinya sudah saya jelaskan serinci mungkin,” ujar Bonyamin yang didampingi Pemohon Prinsipal lainnya, Supriadi.
Selain poin-poin perbaikan yang sudah disebutkan Bonyamin, Pemohon juga menambahkan dasar pemikiran berkaitan dengan peran serta masyarakat. Pemohon juga meminta agar masyarakat diberi hak untuk mengajukan gugatan terhadap penghentian penyidikan maupun penuntutan seperti halnya yang ada dalam UU Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen, dan KUHAP. “Jadi kami memahami di UU Tipikor itu warga masyarakat itu berhak untuk melapor dan bertanya, namun kami menganggap itu kurang lengkap. Semestinya, soal masyarakat memiliki hak gugat terhadap penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan masuk dalam norma dalam UU Tipikor. Jadi kami bukan meminta masyarakat memiliki hak menggugat pelaku korupsi atau negara yang tidak mau menangani kasus korupsi,” jelas Bonyamin yang juga meminta UU Tipikor berlaku bersyarat.
Untuk dipahami, pada sidang pendahuluan Pemohon menjelaskan bahwa mereka merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 41 Ayat (4) Tipikor karena menyebabkan Pemohon tidak memiliki hak gugat terhadap penghentian perkara korupsi. Permohonannya bermula dari sering ditolaknya Pemohon ketika mengajukan pra peradilan dengan alasan hak gugat LSM atau masyarakat tidak diatur dalam UU Tipikor.
“Di Undang-Undang Narkotika dan UU Terorisme, masyarakat yang tidak lapor saja dipidana. Sementara kami ketika mengajukan gugatan terhadap penghentian-penghentian perkara malah dieksepsi. Seakan-akan kami ini tidak berhak untuk mengajukan gugatan,” papar Bonyamin yang merasa perjuangannya mengawal pengadilan kasus Tipikor menjadi sia-sia karena mereka dinyatakan tidak memiliki legal standing pada sidang pendahuluan perkara ini, Selasa (5/2) lalu.
Pasal 41 ayat (4) UU Tipikor yang diajukan untuk diuji oleh Pemohon berbunyi sebagai berikut.
Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya.
Dalam sidang kali ini, Ketua Panel Hakim, Maria Farida Indrati mengesahkan bukti tertulis yang diajukan Pemohon sebanyak 25 bukti. “Saya sahkan alat bukti yang diajukan, P1 sampai P25. Kami akan mengajukan ke RPH untuk dirundingkan kelanjutan perkara ini. Nanti akan disampaikan kapan sidang selanjutnya dan Anda bisa mengajukan saksi-saksi,” tukas Maria sembari menutup sidang yang digelar di ruang sidang pleno MK. (Yusti Nurul Agustin/mh)