Pemeriksaan pendahuluan PUU No. 20/2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara -Perkara No. 16/PUU-XI/2013 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (19/2) siang di Ruang Sidang MK. Pemohon adalah Syarief Almahdali, Zulkifli Alkaf, Tamrin dan lainnya, melakukan pengujian Pasal 10 ayat (1), Penjelasan Pasal 10 ayat (2), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (4) serta Pasal 20 UU No. 20/2012.
Dalam persidangan hadir kuasa hukum Pemohon, Robikin Emhas dkk yang menyampaikan sejumlah keberatan Pemohon. Bahwa Pemohon selaku warga negara tidak mendapat pengakuan dan kepastian hukum yang adil di hadapan hukum dengan adanya frasa “dilaksanakan paling cepat 2 (dua) tahun sejak diresmikannya Provinsi Kalimantan Utara” dalam Pasal 10 ayat (1) UU
No. 20/2012.
Menurut Robikin, apabila frasa ketentuan “paling cepat 2 (dua) tahun sejak diresmikan Provinsi Kalimantan Utara” dijadikan tolok ukur dalam penyelenggaraan Pemilukada Provinsi Kalimantan Utara, diperkirakan setelah 17 Agustus 2015 baru terjadi penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, tanpa batasan waktu yang pasti.
“Frasa ketentuan a quo bersandar pada keberlakuan empiris yang amat bergantung pada proses administrasi publik, sehingga berakibat pada ketidakjelasan waktu pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Provinsi Kalimantan Utara,” jelas Robikin kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Harjono, didampingi Hakim Konstitusi M. Alim dan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Selain itu, lanjut Robikin, pihak pemerintah keliru dalam memahami Pasal 297 ayat (3) UU MD3 terhadap pengisian keanggotaan DPRD Provinsi Kalimantan Utara, yang secara mutatis mutandis diberlakukan bagi penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Utara, sebagaimana terdapat dalam risalah rapat dimaksud yakni “pada awal 2015 yang tahapan-tahapannyadapat dimulai pada akhir 2014”.
Jika ketentuan dalam UU No. 20/2012 tetap diberlakukan dan berdaya ikat yuridis, maka ketentuan a quo telah menimbulkan tidak terpenuhinya hak-hak warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta ketiadaan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum adil pada penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Kalimantan Utara
“Sehingga Pasal 10 ayat (1) UU No. 20/2012 sepanjang frasa ‘dilaksanakan paling cepat 2 (dua) tahun sejak diresmikan Provinsi Kalimantan Utara’ bertentangan dengan spirit dan norma dasar Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945,” imbuh Robikin.
Hal lain yang menjadi keberatan Pemohon, lanjut Robikin, terdapat aspek yang tidak lazim dalam bagian Penjelasan Pasal 10 ayat (2) UU No. 20/2012 bahwa “Penjabat Gubernur Kalimantan Utara diusulkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Gubernur Kalimantan Timur”.
“Bahwa sebenarnya, kewenangan dalam mengusulkan penjabat gubernur adalah kewenangan pemerintah pusat c.q. Menteri Dalam Negeri, dalam perbandingan historis-komparatif antara Provinsi Kalimantan Utara,Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Banten dan Kota Tangerang Selatan,” tegas Robikin.
Ketentuan Pasal 13 ayat (4) UU No. 20/2012, ungkap Robikin, justru membuat penormaan tersendiri dimana pengambilan sumpah/janji anggota DPRD Provinsi Kalimantan Utara dilakukan paling lambat 4 (empat) bulan setelah pengambilan sumpah/janji anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur. Hal ini menunjukkan bahwa pengambilan sumpah/janji anggota DPRD Provinsi Kalimantan Utara hanya bisa dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu 2014, sehingga norma hukum Pasal 13 ayat (4) UU tersebut mengakibatkan hilangnya hak-hak konstitusional pemohon.
Di samping itu, kata Robikin, ketentuan Pasal 13 ayat (4) UU menimbulkan suatu kekacauan hukum (disorder of law) karena pengisian keanggotaan DPRD Provinsi Kalimantan Utara didasarkan pada hasil Pemilu 2014, sehingga DPRD Provinsi Kalimantan Utara tidak dapat segera menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan khususnya terkait dengan penyusunan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kalimantan Utara. (Nano Tresna Arfana/mh)