Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembacaan putusan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Rabu (13/2). Mahkamah menyatakan dalam amar putusannya menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. Dalam konklusi putusan Mahkamah dijelaskan alasan penolakan tersebut karena pokok permohonan Para Pemohon tidak beralasan hukum.
“Amar Putusan. Mengadili. Menyatakan menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Sidang yang juga merupakan Wakil Ketua MK Achmad Sodiki.
Mahkamah menimbang pokok permohonan Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 9 ayat (1) UU 2/2012 tidak mendefinisikan dengan jelas pengertian kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat, tidak beralasan menurut hukum. Dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah dijelaskan bahwa apabila norma Pasal 9 ayat (1) UU 2/2012 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tidak ada lagi keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Artinya, masih dalam pertimbangan hukum Mahkamah, apabila sudah atas nama kepentingan umum, kepentingan pembangunan yang menjadi acuan, maka kepentingan masyarakat tidak lagi diperhatikan. Hal demikian justru akan bertentangan dengan keadilan sebagai prinsip konstitusi.
Mahkamah menganggap bahwa sangat memungkinkan bila di dalam suatu undang-undang tidak memberikan perincian mengenai istilah atau kata yang digunakan, meskipun hal tersebut dapat menimbulkan ketidakjelasan, ketidakpastian atas istilah atau kata yang dimaksud oleh undang-undang. Namun, masih menurut pendapat Mahkamah, hal tersebut dapat diatasi dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah untuk merincinya dengan tetap dalam semangat perlindungan terhadap berbagai kepentingan.
Dalil lain yang juga dianggap tidak beralasan hukum oleh Mahkamah, yaitu dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 10 huruf b dan huruf d UU 2/2012 memiliki ketidakjelasan makna kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat serta cara menyeimbangkan sehingga daftar kepentingan umum dalam pasal UU tersebut menjadi tidak jelas. Pemohon menganggap yang dimaksud kepentingan umum adalah kepentingan orang banyak yang membutuhkan perlindungan negara sehingga pembangunan jalan tol yang dimasalahkan Pemohon dianggap tidak termasuk kegiatan untuk kepentingan umum. Selain jalan tol, Para Pemohon juga menganggap pembangunan peti kemas yang merugikan Para Pemohon bukanlan masuh kategori kepentingan umum sesuai Pasal 10 huruf b dan huruf d UU tersebut.
Mengenai hal itu, Mahkamah berpendapat bahwa pembangunan jalan tol dilakukan demi kelancaran pengangkutan orang, barang, dan jasa yang menjadi hajat hidup orang banyak. Sehingga, meskipun tidak dapat diakses secara leluasa oleh rakyat miskin, akan tetapi dengan adanya jalan tol tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan dirasakan manfaatnya untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat.
Demikian pula dengan fungsi sejati dari pelabuhan. Mahkamah menjelaskan bahwa untuk daerah-daerah tertentu, distribusi sembilan bahan pokok (sembako) hanya mungkin dilakukan lewat pelabuhan. Sehingga meskipun tidak semua orang mempergunakan pelabuhan, akan tetapi masyarakat luas merasakan manfaatnya.
Masih terkait dengan kategori kepentingan umum dan pemenuhannya oleh negara, Mahkamah menilai tidak semua fasilitas untuk kepentingan umum dapat dipenuhi oleh negara oleh karena kebutuhan dan permintaan masyarakat semakin meningkat. Oleh sebab itu, meskipun negara memberi kesempatan pada swasta untuk dapat ikut serta memenuhi kepentingan umum tersebut, negara tetap dapat menentukan kebijakan yang bersangkut paut dengan kepentingan umum, misalnya dalam menetapkan tarif jalan tol yang dikelola oleh swasta, sehingga swasta tidak sepenuhnya dapat menentukan sendiri tarif jalan tol yang merupakan investasi dari yang bersangkutan.
Selain dua pokok permohonan empat belas Pemohon yang diantaranya, yaitu Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), dan Serikat Petani Indonesia (SPI), Mahkamah menolak seluruh pokok permohonan Pemohon dengan menyatakan dalil Pemohon tidak beralasan hukum. (Yusti Nurul Agustin/mh)