Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian ketentuan minimal lamanya pidana penjara yakni selama 4 (empat) tahun pada Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan atas UU 31/2009 atau yang dikenal dengan UU PTPK. Putusan bernomor 39/PUU-X/2012 yang dibacakan Rabu (13/2) oleh sembilan hakim konstitusi ini yang dimohonkan oleh Herlina Koibur, pegawai negeri sipil di Kabupaten Biak Numfor, Jayapura, dengan Habel Rumbiak sebagai kuasa hukumnya.
Dalam permohonan sebelumnya, ketentuan ancaman minimal pidana penjara ini mengakibatkan Pemohon harus dihukum dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun, yang menurut pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Jayapura, lamanya pidana penjara tersebut tidak sesuai dengan fakta-fakta hukum terkait peran Pemohon dalam perkara pidana yang dituduhkan kepada Pemohon.
Landasan Pemohon menguji UU ini adalah adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 2526 K/Pid.Sus/2010 tanggal 9 Juni 2011 yang antara lain menyatakan terdakwa Herlina Koibur telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi yang dilakukan secara bersama-sama”. MA menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
Bagi Pemohon, Pasal 2 ayat (1) UU PTPK memasung hakim pada peradilan umum untuk menghukum seseorang selama 4 (empat) tahun, tanpa mempertimbangkan proporsi perbuatannya. Selain itu, pasal tersebut bagi Pemohon memasung Jaksa Penuntut Umum untuk menuntut seseorang dengan pidana penjara minimal 4 (empat) tahun, walaupun kualitas perbuatannya tidak sepadan.
Pendapat Mahkamah
MK sendiri berpendapat penetapan atau pencantuman lamanya ancaman pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus maupun dalam bentuk pidana maksimum khusus merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
Frasa “... pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun” dalam pasal yang dimohonkan pengujian merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang, yang tidak bertentangan atau tidak menyimpang dari norma konstitusi. Sebab, tindak pidana korupsi di Indonesia termasuk tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime) karena telah terjadi secara meluas dan sistematis yang membahayakan sendi-sendi kehidupan negara, sehingga dibutuhkan cara-cara yang luar biasa (extraordinary measures) guna menanggulanginya.
Ini didasarkan pada adanya keinginan kuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang telah sedemikian meluas dan sistematis, dan memberikan peringatan kepada semua orang untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi, serta untuk mencegah terjadinya potensi kerugian negara baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Unsur-unsur tindak pidana dari Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 sengaja dimaksudkan untuk menjangkau seluruh pelaku tindak pidana korupsi baik perbuatan yang dilakukan perseorangan maupun oleh korporasi. Hal ini bersesuaian dengan pendirian yang telah diakui oleh masyarakat internasional bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak “kejahatan luar biasa”, sehingga dalam proses penanganannya harus dilakukan secara luar biasa pula (extraordinary measures). Tujuannya, untuk menimbulkan efek jera baik terhadap pelaku maupun terhadap seluruh warga masyarakat.
Terlepas dari berapa pun jumlah yang dikorupsi, tidak relevan jika Pemohon mengaitkan pidana yang dijatuhkan kepadanya dengan pidana yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana lainnya, karena tindak pidana tersebut berbeda dengan perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh Pemohon.
“Dengan demikian, frasa “pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun” dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999, sudah tepat, dan tidak dapat ditafsirkan lain selain bunyi frasa itu sendiri karena salah satu sifat hukum pidana yang menuntut kepastian hukum,” kata Majelis Hakim.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil-dalil Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas frasa “pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun” dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 tidak beralasan menurut hukum. “Konklusi, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Amar putusan menyatakan menolak permohonan Pemohon,” kata Mahfud MD selaku ketua sidang pleno saat membacakan putusan. (Abdullah Yazid/mh)