Pemerintah sekali lagi menegaskan bahwa norma dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini disampaikan oleh Ditjen Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi selaku wakil Pemerintah dalam pengujian KUHAP pada Rabu (13/2) di Ruang Sidang Pleno. Dua permohonan ini teregistrasi dengan Nomor 114/PUU-X/2012 dan 115/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh mantan terdakwa kasus korupsi, Idrus dan Ismail. Idrus adalah mantan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Pasaman Sumatera Barat, sementara Ismail adalah Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bukittinggi Sumatera Barat.
“MK telah memutuska tiga permohonan yang mengujikan pasal yang sama (Pasal 244 KUHAP) dan memutuskan permohonan tidak dapat diterima. Pemerintah mengapresiasi keputusan MK atas konsistensi. Yang dimohonkan pasalnya sama dan batu ujinya pun sama. Oleh karena itu, Pemerintah tetap berprinsip permohonan Pemohon tidak dapat diajukan kembali,” jelas Mualimin di hdapan Majelis Hakim yang diketuai oleh ketua MK Moh. Mahfud MD.
Mualimin pun menjelaskan Pemerintah sudah menyampaikan rancangan perubahan KUHAP kepada DPR. Dalam rancangan undang-undang KUHAP tersebut, Pasal 244 tetap dan tidak mengalami perubahan, hanya penempatannya yang berubah.
“Artinya pemerintah berpendapat bahwa Pemerintah memandang RUU tersebut telah dibahas sejak tahun 1999 oleh pakar hukum di Indonesia, mengacu pada putusan MK dan terdapat dalam RUU KUHAP, kami berpendapat norma tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 244 khususnya frase kecuali putusan bebas, hal ini diperlukan untuk tetap memberikan rasa keadilan pada masyarakat,” urai Mualimin.
Sementara itu, Ahli Pemohon yakni Pakar Hukum Pidana Muhammad Arief Setiawan menegaskan tidak ada perlu adanya penafsiran ulang terhadap Pasal 244 KUHAP. Menurut Arief, dalam Pasal 244 KUHAP sudah jelas menentukan Penuntut Umum ataupun Terdakwa tidak dapat mengajukan upaya hukum atas putusan bebas. “Jika teks yang sudah normatif memiliki makna yang terang benderang tidak perlu ditafsirkan kembali. Penafsiran justru akan menghancurkan pasal tersebut,” urai Arief.
Arief mengungkapkan masalah penerapan Pasal 244 KUHAP muncul sejak terbitnya Kepmenkeh RI No. M-14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Usai Kepmenkeh tersebut, lahirlah yurisprudensi tetap MA No K/275/Pid/1983 yang justru dipergunakan Jaksa Agung untuk melakukan kasasi terhadap Putusan Bebas. “Ketentuan Pasal 244 KUHAP sudah jelas dan memberikan kepastian hukum terhadap terdakwa. Yang salah adalah tafsiran frasa ‘kecuali untuk putusan bebas’,” urainya.
Idrus dan Ismail merupakan dua mantan terdakwa korupsi yang telah menerima vonis bebas, namun mereka merasa terancam vonis bebasnya menjadi vonis penjara lantaran jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan kasasi. Pada 19 Juni 2008, Idrus divonis bebas dari kasus korupsi Hibah Kementrian Sosial di Kabupaten Pasaman, sementara Ismail mendapat vonis bebas pada 16 Mei 2012 dari dugaan korupsi DIPA dan Rencana Kerja Anggaran Kementrian/Lembaga (RKA-KL) 2007 di STAIN Bukittinggi. (Lulu Anjarsari/mh)