Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Pasal 125 ayat (2), Pasal 126 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 127, yang dimohonkan oleh Hazil Maruf. Pada persidangan kali hadir perwakilan dari Pemerintah dan DPR untuk menyampaikan opening statement masing-masing.
Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Jendral Minerba, Kementerian Ekonomi Sumber Daya Mineral (ESDM), Thamrin Sihite menyampaikan bahwa Majelis Hakim MK perlu mempertimbangkan kedudukan hukum atau legal standing Pemohon. “Pemerintah meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak sebagaimana yang ditentukan oleh UU MK dan putusan-putusan MK terdahulu,” pinta Sihite.
Sihite juga menanggapi dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 125 ayat (2) UU Minerba sepanjang frasa ‘klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh menteri’ adalah kontradiktif serta bersifat diskriminatif. Sihite pun menjelaskan bahwa penjelasan mengenai klasifikasi dan kualifikasi yang ada di frasa tersebut telah diatur secara jelas dan terinci dalam Peraturan Menteri ESDM No. 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan dan perubahannya pada Peraturan Menteri ESDM No. 24 Tahun 2012. “Definisi klasifikasi diatur dalam Pasal 1 angka 18 Permen ESDM No. 24 Tahun 2012, yaitu penggolongan bidang usaha jasa pertambangan berdasarkan kategori konsultan, perencana, pelaksana, dan pengujian peralatan. Kemudian penjelasan mengenai frasa kualifikasi diatur dalam pasal 1 angka 19 Permen ESDM No. 24 Tahun 2012, yaitu penggolongan usaha jasa pertambangan berdasarkan tingkat kemampuan keuangan perusahaan dan juga dalam Pasal 14 Permen ESDM No. 24 Tahun 2012,” jelas Sihite.
Dengan adanya penjelasan mengenai frasa klasifikasi dan kualifikasi dalam Peraturam Menteri ESDM No. 24 tahun 2012 di atas, Sihite menyatakan, dalil Pemohon yang menyatakan kedua frasa tersebut tidak ada penjelasannya menjadi tidak benar dan terbukti. Sihite juga menampik bahwa UU Minerba diskriminatif dan bertujuan memonopoli hasil sumber daya alam tanpa memikirkan rakyat sekitar. Sihite mengatakan tuduhan Pemohon tersebut tidak berdasar karena penjelasan tentang hal tersebut juga diatur dalam Peraturan Menteri ESDM yang lainnya.
Di akhir penjelasannya, Pemerintah melalui Sihite meminta Mahkamah untuk menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, menolak permohonan Pemohon, menerima keterangan Pemerintah, dan menyatakan pasal-pasal yang diuji Pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara ini perwakilan dari DPR, yaitu Harry Witjaksono, Anggota Komisi III DPR menyampaikan kekhawatirannya bila UU Minerba ditiadakan, terutama pasal-pasal yang dimohonkan oleh Pemohon. Harry menegaskan bahwa pelaksanaan undang-undang dalam bidang usaha jasa pertambangan akan sulit dilaksanakan bila UU Minerba ditiadakan. Pasalnya, ketiadaan norma yang mengatur mengenai bentuk badan usaha pertambangan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan pemangku kepentingan di bidang pertambangan mineral dan batubara dapat menafsirkan ketentuan tertentu dengan berbeda-beda. “Apabila Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 126 ayat (1) dan (2) serta Pasal 127 UU Minerba dihilangkan maka pelaksanaan undang-undang ini dalam bidang usaha pertambangan akan sulit dilaksanakan karena ketiadaan norma yang mengatur mengenai bentuk badan usaha pertambangan dan tidak adanya kejelasan mengenai kualifikasi dan klasifikasi usaha jasa pertambangan. Keadaan ini nantinya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuat pemangku kepentingan di bidang pertambangan mineral dan batubara menafsirkan secara beragam mengenai klasifikasi dan kualifikasi tersebut,” papar Harry.
Di akhir penjelasannya, Harry yang mewakili DPR meminta MK untuk menyatakan pasal-pasal yang dimohonkan oleh Pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945. (Yusti Nurul Agustin/mh)