Kriteria pembatasan usia maksimal seseorang untuk menjadi hakim konstiitusi dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi. Akar masalahnya, ketentuan tentang batas usia maksimal, berpotensi menghalangi atau menghilangkan kesempatan seorang hakim konstitusi untuk menjadi hakim konstitusi kembali saat usianya sudah atau lebih dari 65 tahun. Padahal, usia pensiun hakim konstitusi, adalah 70 tahun.
Adalah mantan Panitera Mahkamah Konstitusi Zainal Arifin Hoesein dan seorang advokat Andi M. Asrun yang menggugat ketentuan tersebut dalam perkara yang teregistrasi dengan Nomor 7/PUU-XI/2013 ini. Rumusan yang dipersoalkan adalah Pasal 15 Ayat (2) huruf d Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi, “Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: .... d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan.”
Namun, menurut Pemerintah, dalam tanggapannya yang disampaikan oleh Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi, pembatasan tersebut merupakan sesuatu yang sah-sah saja. “Hal ini tidak terkait dengan isu konstitusionalitas,” ujarnya dalam sidang Mendengarkan Keterangan Pemerintah dan Ahli Pemohon, Senin (11/2) di Ruang sidang Pleno MK.
Dia menegaskan, Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur pelarangan batas usia tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan. “Artinya, Undang-Undang Dasar 1945 menyerahkan pada pembuat undang-undang untuk mengaturnya,” tegas Mualimin.
Apalagi, dalam beberapa putusan MK, seperti Putusan 15/PUU-V/2007, 37/PUU-VIII/2010, dan 39/PUU-VIII/2010, sambung Mualimin, telah dinyatakan bahwa kriteria usia merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka). Selain itu, ketentuan ini juga tidak diskriminatif. Sebab, tidak ada persyaratan atau kriteria terkait suku, ras, agama, atau antar golongan.
Hanya Untuk Calon Hakim
Berbeda dengan pendapat tersebut, ahli Pemohon Maruarar Siahaan, menyatakan bahwa rumusan itu masih mengandung beberapa persoalan. Menurutnya, batasan usia 65 tahun seharusnya hanya berlaku untuk calon hakim konstitusi yang tidak sedang menjabat sebagai hakim konstitusi. Karena, penafsiran demikian akan dapat menghindarkan terjadinya pertentangan dengan konstitusi. “Ketentuan tersebut berlebihan dan tidak menambah terang,” ujar mantan hakim konstitusi ini.
Adapun ahli Pemohon lainnya, Dian P Simatupang, menekankan bahwa sebuah ketentuan terkait syarat usia minimum dan maksimum sebuah jabatan harus memperhatikan berbagai hal, terutama kecermatan dan kepastian hukum. “Kepastian dan masa jabatan publik harus jelas,” ungkapnya.
Jika sebuah ketentuan masih menimbulkan penafsiran ganda, maka norma tersebut berpotensi melanggar hak seseorang yang akan menjadi pejabat nantinya. Apabila keputusan pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik tidak berdasarkan pada norma yang mengandung kesamaan dan kepastian, maka dari sisi hukum administrasi negara, dapat dianggap sebagai pelanggaran atas asas umum pemerintahan yang baik.
Setelah mendengarkan keterangan-keterangan tersebut, Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, memerintahkan kepada para pihak untuk menyampaikan kesimpulan selambat-lambatnya pada Senin, (18/2) ke Kepaniteraan MK. Untuk selanjutnya MK akan menjatuhkan vonis terhadap perkara ini. (Dodi/mh)