Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden - Perkara No. 4/PUU - XI/2013 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (11/2) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah dan keterangan DPR serta Saksi/Ahli dari Pemohon.
Dalam persidangan, ternyata hanya Pemerintah dan DPR yang hadir, sedangkan Saksi/Ahli dari Pemohon tidak hadir. Sementara itu Pemohon adalah Sri Sudarjo selaku Presiden Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat Independen. “Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa ‘Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD’. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan menurut UUD,” ujar Reydo Nizar Munek sebagai Staf Ahli Mendagri Bidang Politik Hukum dan Hubungan Antarlembaga, yang mewakili Pihak Pemerintah.
“Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil,” lanjut Reydo. Reydo mengungkapkan, Pasal 6A UUD 1945 menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Sedangkan tata cara pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam UU”.
“Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan, maka dibentuklah UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” jelas Reydo.
Reydo melanjutkan, Pemohon menguji Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 14 ayat (2) UU No. 42/2008 yang menggunakan frasa “partai politik atau gabungan partai politik” untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai turunan langsung dari bunyi UUD 1945. “Frasa ‘partai politik atau gabungan partai politik’ dalam Pasal 6A UUD 1945 secara tegas bermakna bahwa hanya parpol atau gabungan partai politik yang dapat mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,” ujar Reydo.
Dengan demikian, imbuh Reydo, frasa yang dimaksud tidak memberi peluang adanya interpretasi lain. Seperti menafsirkan diusulkan oleh perseorangan atau independen.
Sementara itu Pihak DPR yang diwakili oleh Ahmad Yani dari Komisi III DPR Fraksi PPP. Dijelaskannya, terhadap kedudukan hukum Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 006/PUU-III/2005 dan Perkara No. 011/PUU-V/2007.
Selanjutnya, DPR menilai bahwa pendapat Pemohon yang menghendaki rumusan Pasal 9 UU Pilpres agar pasangan calon diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol, utusan golongan rakyat, golongan buruh, golongan petani, golongan miskin kota, golongan fungsional seluruh rakyat Indonesia, dan sebagainya, secara konseptual sangat tidak jelas. “Hal itu justru bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, sehingga permohonan tersebut tidak cukup beralasan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Ahmad Yani, materi ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (2) UU Pilpres yang antara lain mengatur mekanisme internal partai dalam penentuan Calon Presiden dan Wakil Presiden, secara substansi sama sekali tidak terkait atau tidak relevan dengan kepentingan konstitusional Pemohon, serta tidak ada potensi kerugian yang dialami Pemohon. (Nano Tresna Arfana/mh)