Persoalan data kependudukan sangat berkaitan dengan politik. Bagaimana tidak, data kependudukan mempengaruhi berbagai instrumen dalam pemilihan umum. Antara lain digunakan ketika menentukan daerah pemilihan, jumlah pemilih, jumlah alokasi kursi yang diperebutkan dalam pemilu, bahkan sampai pada penentuan syarat dukungan untuk calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah.
Namun sayangnya, kata Hasyim Ashari, ahli yang dihadirkan Pemohon dalam Perkara No. 96/PUU-X/2012, data kependudukan di Indonesia masih belum akurat. Bahkan seringkali, dua lembaga yang mempunyai otoritas untuk menyajikan data kependudukan, yakni Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pusat Statistik, memliki data yang berbeda angkanya.
Menurut Hasyim, persoalan tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, sumber data. Kedua, metode pengumpulan data. Di mana, data kependudukan terdiri dari dua jenis, yakni berdasarkan domisili de facto dan berdasarkan domisili de yure. Kemendagri menggunakan data de yure, yang dibuktikan melalui Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga. Sedangkan BPS mendata secara de facto, langsung mendatangi dan melakukan sensus penduduk dari rumah ke rumah.
“Kemendagri lebih bersifat pasif. Pemutakhiran data penduduk sangat bergantung kepada laporan peristiwa kependudukan, yakni kelahiran, kematian, perkawinan, migrasi, maupun laporan masyarakat kepada aparat secara berjenjang,” papar Hasyim dalam Sidang Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli Pemohon, Rabu (6/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
Berdasarkan pengalamannya selama ini, pertambahan ataupun pengurangan jumlah pada data penduduk dari masing-masing lembaga tersebut, beberapa diantaranya tidak rasional. “Patut dipertanyakan,” tegasnya.
Sebagai contoh, data penduduk di Jawa Tengah yang dalam dua tahun mengalami penurunan tajam, dari 30 jutaan menjadi sekitar 2 jutaan penduduk. “Padahal tidak ada bencana alam atau peperangan yang mempengaruhi jumlah penduduk Jawa Tengah,” tuturnya. Bahkan, Kemendagri melalui salah satu direktorat jenderalnya pernah mensinyalir terdapat 7 juta data penduduk ganda.
Pertanyaannya adalah, apakah naik turunnya jumlah penduduk ada hubungannya dengan kepentingan politik? “Untuk menaik dan menurunkan alokasi kursi di daerah tertentu?” tanyanya.
Oleh karena itu, dia menyatakan, jika data kependudukan masih tidak akurat dan inkonsisten, akan sangat berpotensi merugikan berbagai pihak. Sebab, dapat menjadi alat ‘permainan’ politik. Dengan kata lain, akurasi data penduduk, akan menjamin kepastian.
Integrasi Bangsa
Pada kesempatan yang sama, telah didengarkan pula keterangan Dewan Perwakilan Rakyat yang disampaikan oleh Anggota DPR Ruhut Sitompul. Dalam keterangannya, DPR berpendapat, Pasal 22 ayat (4) dan lampiran Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang dipersoalkan Pemohon adalah tidak berdasar.
Ruhut menyampaikan, penentuan daerah pemilihan anggota DPR tidak hanya melihat dari aspek kesetaraan saja, namun juga mempertimbangkan prinsip integrasi bangsa. Pandangan ini diambil karena pembuat undang-undang memperhatikan kondisi masyarakat yang sangat plural dan multietnis. Selain menghindari potensi konflik yang akan muncul.
“Harusnya dilihat secara komprehensif. Dengan memperhatikan perkembangan wilayah, paling tidak dalam kurun waktu lima tahun dari pemilu sebelumnya,” papar Anggota Komisi Hukum DPR ini. Sehingga, alokasi kursi, harus pula disesuaikan dengan kondisi terkini. Khususnya pada wilayah-wilayah yang mengalami pemekaran.
Berkaitan dengan data kependudukan, lanjut Ruhut, tentu saja berdasarkan kepada data yang disajikan oleh pemerintah. “Sebagai pihak yang berwenang menyediakan data kependudukan,” ujarnya. Akhirnya, DPR berkesimpulan, rumusan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi.
Untuk diketahui, ketentuan Pasal 22 ayat (4) UU Pemilu Legislatif yang diuji Pemohon tersebut berbunyi, “Penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah ketentuan daerah pemilihan pada Pemilu terakhir berdasarkan ketentuan pada ayat (2)”. Ayat (2)-nya menyebutkan, “Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi.” Sedangkan dalam Lampiran, menampilkan tabel yang memberi informasi mengenai Pembagian Daerah Pemilihan Anggota DPR RI. (Dodi/mh)