Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) diajukan untuk diuji secara materiil oleh Anggota BPK Pengganti Antar Waktu Barullah Akbar ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (6/2). Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan permohonan diketuai oleh Hakim Konstitusi Harjono di Ruang Sidang Panel MK.
Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Arman Remi mengungkapkan bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945 terlanggar dengan berlakunya Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU BPK. Dikemukakan oleh Arman, Pemohon sebelum memangku jabatan sebagai anggota BPK pengganti antar waktu, bekerja di BPK dan Kementerian Dalam Negeri selama 28 tahun. Pemohon yang dipilih DPR sebagai anggota BPK menggantikan Tengku Muhammad Nurlif hanya melanjutkan sisa masa jabatan Tengku Muhammad Nurlif sampai dengan tahun 2014 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan 6 (enam) anggota BPK lainnya.
“Pemohon sejak diresmikan sebagai anggota BPK melalui pengangkatan penggantian antar waktu menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) tidak mencapai 3 (tiga) tahun berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (4) UU BPK, padahal menurut Pemohon tidak ada perbedaan yang substansial antara tata cara “pengangkatan penggantian antarwaktu” yang mengacu pada Pasal 22 ayat (1)UU BPK dan tata cara “pemilihan” yang mengacu pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK,” papar Arman mengungkapkan permohonan Nomor 13/PUU-XI/2013 tersebut.
Arman menjelaskan bahwa Pasal 22 ayat (1) yang menggunakan frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” yang menjadi dasar pengangkatan Pemohon sebagai anggota BPK pengganti mengandung kelemahan sistem kaidah. Norma a quo, jelas Arman, mengandung pertentangan dengan norma Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU BPK sebagai norma yang bersifat imperatif (keharusan) dalam menentukan komposisi keanggotaan dan masa jabatan anggota BPK.
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Muhammad Alim memberikan saran perbaikan. Majelis Hakim menilai permohonan Pemohon secara keseluruhan sudah memadai. Hamdan menilai uraian fakta yang dipaparkan Pemohon terlalu panjang. Menurut Hamdan, yang terpenting adalah uraian mengenai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan prinsip apa yang ada di dalam UUD 1945. “Uraian mengenai Pergantian Antar Waktu (PAW) tidak tepat, maka harus Pemohon jelaskan lebih jelas lagi. Itu yang harus dibangun dan dipertajam. Harus kelihatan betul jika UU ini memiliki kontradiktif dengan UUD 1945,” urainya.
Sementara, Muhammad Alim menjelaskan dalam petitumnya, Pemohon meminta agar permohonannya diterima dan dikabulkan. Hal tersebut, menurut Alim, terlalu berlebihan. “Jika sudah meminta dikabulkan, ya itu saja. Karena kalau diterima, belum tentu akan dikabulkan,” jelasnya.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan. Agenda sidang berikutnya adalah pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)