Permohonan pengujian UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi. Materi yang diuji mengenai pengecualian keputusan panitia pemilihan baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil Pemilu sebagai keputusan tata usaha negara (TUN) sehingga dapat digugat di PTUN. Putusan dengan Nomor 116/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi.
“Dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menyatakan menolak permohonan Pemohon,” ucap Mahfud membacakan permohonan yang diajukan oleh Benny Kogoya tersebut.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim, Pasal 2 huruf g UU PTUN merupakan pengecualian dari keputusan tata usaha negara (TUN) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU PTUN. Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) menurut Pasal 1 angka 2 UU PTUN tidak hanya menunjuk kepada nama ataupun kedudukan strukturnya dalam salah satu kekuasaan negara, namun juga menunjuk kepada fungsi yang dilaksanakan, sehingga suatu badan yang menjalankan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dianggap sebagai suatu badan atau pejabat TUN.
“Dengan demikian, menurut Mahkamah pembatasan keputusan TUN sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Peratun, khususnya huruf g sangat diperlukan supaya tidak semua keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara karena keputusan TUN a quo sangat berkaitan dengan kewenangan lembaga lain,” ujar Alim.
Dualisme Kewenangan
Menurut Mahkamah, lanjut Alim, permohonan Pemohon yang mengajukan permohonan pembatalan Pasal 2 huruf g UU PTUN justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum sebab dengan dibatalkannya pasal dalam UU tersebut akan mengakibatkan adanya dualisme kewenangan lembaga dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum, yaitu PTUN dan MK. Kewenangan PTUN dalam mengadili perselisihan hasil pemilihan umum apabila tidak ada Pasal 2 huruf g UU PTUN maka didasarkan pada Pasal 1 angka 3 UU tersebut.
“Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perselisihan tentang hasil pemilihan umum didasarkan pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang selanjutnya diatur kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf d UU 48/2009. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum,” paparnya.
Pasal 2 huruf g UU PTUN yang diuji menyatakan, “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini:..... g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum”. Pemohon mendalilkan PTUN bersikap ganda (multitafsir) menerapkan pasal tersebut, karena di satu pihak Surat Keputusan Gubernur Provinsi Papua tentang Penetapan Unsur Pimpinan DPRD Kab. Tolikara sebagai objek Keputusan TUN, namun di pihak lain Surat Keputusan Gubernur tersebut tidak termasuk Keputusan TUN sebagaimana Pasal 1 angka 9 UU PTUN, dengan menyatakan bahwa Surat Keputusan Gubernur Provinsi Papua tersebut sebagai keputusan politik yang merupakan kelanjutan dari Keputusan KPU. Apabila pasal tersebut dinyatakan tidak mengikat menurut Pemohon, tidak terjadi kekosongan hukum karena perselisihan hasil pemilu merupakan kewenangan MK. (Lulu Anjarsari/mh)