Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Selasa (5/2) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) yang teregistrasi dengan nomor 8/PUU-XI/2013. Pemohon perkara ini, yaitu Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Pemohon merasa dirugikan oleh berlakunya Pasal 41 Ayat (4) UU PTPK karena menyebabkan Pemohon tidak memiliki hak gugat terhadap penghentian perkara korupsi.
Pendiri MAKI yang sekaligus menjadi Prinsipal Pemohon, yaitu Bonyamin menyampaikan sendiri pokok-pokok permohonan Pemohon di hadapan panel hakim. Dengan menggunakan analogi pengujian UU terkait hak buruh dalam mendapatkan jaminan hari tua, Bonyamin menyampaikan bahwa dalam Pasal 41 UU PTPK hanya diatur hak melapor dan hak mempertanyakan laporan. Pasal tersebut dianggap merugikan Pemohon selaku LSM antikorupsi karena tidak memberikan hak gugat terhadap penghentian perkara korupsi.
“Pemohon (MAKI, red) hanya memiliki hak untuk melapor dan mempertanyakan laporan. Sedangkan hak gugatnya tidak ada. Dengan begitu UU Tipikor ini meniadakan hak gugat kami selaku LSM ataupun masyarakat untuk mengajukan pra peradilan terhadap penghentian perkara-perkara korupsi, baik penghentian penyidikan maupun penghentian penuntutan sebagaimana diatur dalam KUHAP Pasal 80,” ujar Bonyamin di hadapan Harjono selaku ketua panel hakim yang didampingi Hamdan Zoelva dan Muhammad Alim selaku anggota panel hakim.
Bonyamin juga menyampaikan bahwa ketika pihaknya mengajukan praperadilan di Jakarta maupun kota-kota lain, mereka sering ditolak dengan alasan hak gugat LSM atau masyarakat tidak diatur dalam UU PTPK. Padahal, lanjut Bonyamin, UU lainnya seperti UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, bahkan UU Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak gugat itu.
“Di Undang-Undang Narkotika dan UU Terorisme, masyarakat yang tidak lapor saja dipidana. Sementara kami ketika mengajukan gugatan terhadap penghentian-penghentian perkara malah dieksepsi. Seakan-akan kami ini tidak berhak untuk mengajukan gugatan,” papar Bonyamin yang merasa perjuangannya mengawal pengadilan kasus Tipikor menjadi sia-sia karena mereka dinyatakan tidak memiliki legal standing.
Dalam petitum permohonan, Bonyamin dan rekan-rekannya meminta beberapa hal dikabulkan oleh Mahkamah. Salah satu petitum Pemohon yaitu meminta Pasal 41 ayat (4) UU PTPK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai meniadakan hak gugat peran serta masyarakat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan berupa pengujian (praperadilan) terhadap sah tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan perkara-perkara tindak pidana korupsi. Pemohon meminta hak gugat tersebut dapat diwakili oleh LSM seperti MAKI atau pihak lain yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan pengujian (Praperadilan) atas sah tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan perkara-perkara korupsi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 41 ayat (4) UU PTPK yang diajukan untuk diuji oleh Pemohon berbunyi sebagai berikut
Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya.
Menanggapi permohonan Pemohon tersebut, Panel Hakim Konstitusi sebagaimana lazimnya sidang pemeriksaan pendahuluan di MK wajib memberikan saran kepada Pemohon. Saran tersebut nantinya dapat dipakai atau tidak oleh Pemohon dalam perbaikan permohonan. Harjono yang bertindak sebagai ketua menyarankan agar Pemohon menyampaikan permohonan dengan terstuktur. Selain itu, Harjono juga meminta pemohon membaca putusan-putusan MK yang sudah dibacakan mengenai legal standing Pemohon. “Coba baca deh putusan-putusan MK yang sudah-sudah. Ada lima hal yang kaitannya dengan legal standing. Lalu dalam pokok permohonan dijelaskan Anda punya hak apa sih di UUD. Lalu batu uji yang Anda gunakan itu tidak hanya dicantumkan saja tapi dijelaskan rasionalitasnya. Jangan dijejerkan saja terus hakimnya menjadi berteka-teki sendiri,” saran Harjono. (Yusti Nurul Agustin/mh)