Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar uji materi UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Senin (4/2) di Ruang Sidang Pleno. Dalam sidang yang mengagendakan perbaikan permohonan, kedua Pemohon baik perkara No.1/PUU-XI/2013 maupun No.3/PUU-XI/2013 telah memperbaiki permohonan masing-masing sesuai saran yang diajukan Majelis Hakim Konstitusi.
Kedua Pemohon yang diwakili kuasa hukum masing-masing menyampaikan perbaikan permohonan. Muhammad Soleh selaku kuasa hukum Oei Alimin Soekamto (Pemohon Nomor 1/PUU-XI/2013) menjelaskan tidak menemukan terjemahan dari Wetboek van Straftecht seperti yang diminta oleh Hakim Konstitusi Harjono dalam persidangan sebelumnya.
Duin Palungkun selaku kuasa hukum Hendry Batoarung Ma’dika (Perkara Nomor 3/PUU-XI/2013), memperbaiki alasan permohonan mengenai penegasan kata “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP harus harus dimaknai rentang waktunya. Dalam Pasal 18 ayat (3) dikemukakan “(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan”. “Apabila rentang waktu tidak dimaknai, maka ini akan rentan terhadap pelanggaran konstitusi. Kata ‘segera’ itu harus dimaknai berapa hari dari polres yang bersangkutan,” paparnya.
Sedangkan Sholeh menyampaikan perbaikan terkait permohonan. “Masukan majelis hakim tentang Wetboek van Straftecht dalam bahasa Belanda, kita agak kesulitan mencarinya, namun kita dapatkan KUHP dari dua penerbit yang berbeda, namun memiliki harfiah yang sama,” ujar Sholeh di hadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Sementara dalam alasan permohonan, Sholeh menjelaskan Pemohon dikenakan sanksi pidana dan menjadi tersangka karena terjerat Pasal 335 ayat (1) KUHP. Dalam alasan permohonan, lanjut Sholeh, kami jelaskan bahwa klien kami ini dituduh melakukan perbuatan tidak menyenangkan hanya dengan umpatan kata-kata.
“Setelah kita pahami, persoalan ini ini terletak pada Pasal 335 ayat (1) akan melanggar hak konstitustitusional siapapun jika ada yang melanggar pasal itu. Ketentuan frase ini sangat absurd dan dapat menjerat siapapun,” ujarnya.
Majelis Hakim Konstitusi yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Harjono mengesahkan beberapa alat bukti yang diajukan oleh Para Pemohon.
Pasal Karet
Dalam sidang sebelumnya, Muhammad Sholeh memaparkan ketentuan Pasal 335 KUHP memiliki unsur delik sangat luas, sehingga para pengacara menganggapnya sebagai pasal “karet”. Pemohon, yakni Oei Alimin Sukamto Wijaya, menyatakan kliennya tersebut terlibat perkelahian di Hotel Meritus, Surabaya pada 5 Agustus 2012 lalu dan menjadi tersangka akibat Pasal 335 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, Hendry Batoarung Madika, menyatakan, ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP mengatur tentang tembusan surat penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Klien Duin ditangkap karena kasus Narkoba. Dalam kurun waktu 24 hari setelah penangkapan, keluarga Hendry baru menerima surat perintah penangkapan. Duin mengaku sudah melakukan upaya hukum praperadilan. Namun upaya ini ditolak Hakim, karena KUHAP tidak mengatur pemaknaan mengenai berapa lama kata “segera”. Menurut Duin, penerapan Pasal 18 ayat (3) KUHAP oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia khususnya tentang pemaknaan kata “segera”, waktunya tidak pasti. Hal ini tidak menjamin kepastian hukum karena warga negara diperlakukan tidak sama di depan hukum. (Lulu Anjarsari/mh)