“Dokter, saya risau dengan keadaan sekarang karena timbul gejala yang mengacaukan persatuan bangsa. Kira-kira apa ya obatnya dokter?” tanya sang pasien seraya tertawa kecil. Dokter pun menjawab, “Oh, gejala itu sudah merupakan penyakit umum, sebagai bentuk kekerasan yang terjadi masyarakat. Tapi obatnya gampang, tebuslah resep ‘gongsipakas’?” kata dokter. “Apa itu gongsipakas dokter?” tanya pasien. “Gongsipakas adalah gotong royong sila padi kapas,” ucap dokter yang disambut tawa para hadirin.
Dialog tersebut adalah adegan salah satu babak dari simulasi “Klinik Pancasila” Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD yang berperan sebagai pasien, dan Stefani, salah seorang pelajar SMA yang berperan sebagai dokter. Simulasi tersebut merupakan salah satu rangkaian acara Apresiasi Klinik Pancasila, Kamis (31/1) yang digelar di Aula Gedung MK, Jakarta. Acara tersebut diikuti oleh lebih dari 200 pelajar SMP dan SMA dari dari Jakarta, Jawa Barat, Riau dan Jambi yang tergabung dalam KLINIK Pancasila.
Mahfud pun memuji adanya KLINIK (Konsultasi Langsung Ideologi Negara Indonesia Kesatuan) Pancasila sebagai kekuatan baru yang muncul dari masyarakat.
“Saya merasa gembira dengan adanya kreativitas semacam ini, menjadi virus Pancasila yang menular kepada orang-orang sekitarnya,” kata Mahfud saat memberikan kata sambutan acara tersebut.
“Sosialisasi Pancasila melalui kegiatan seperti itu harus didukung sepenuhnya,” tambah Mahfud kepada hadirin, di antaranya ada Sekjen MK Janedjri M. Gaffar, Direktur KLINIK Pancasila Doddy Susanto, serta para guru maupun pelajar SMP dan SMU dari sejumlah daerah.
Terkait Pancasila, Mahfud menyatakan keprihatinannya soal kepedulian masyarakat Indonesia saat ini terhadap Pancasila. Misalnya saja, dalam suatu acara pernah ditanyakan soal bunyi salah satu sila. Ternyata ia tidak hafal isi sila tersebut, meskipun yang ditanya adalah seorang mahasiswa.
“Saya mengamati, secara teoritis, pengamalan objektif terhadap Pancasila kian melemah,” ucap Mahfud.
Pada babak kedua simulasi, giliran Mahfud yang memerankan sebagai dokter, sedangkan pasiennya adalah Akbar salah seorang pelajar lainnya. “Dokter, persatuan di Indonesia sekarang masih belum bersatu padu. Terjadi pergolakan antara lain dengan adanya Gerakan Aceh Merdeka, Papua Merdeka. Bagaimana cara mengatasinya?” tanya pasien.
Setelah menyimak pertanyaan pasien, maka dokter pun menjawab. “Menurut saya, gejala itu sebenarnya belum merupakan penyakit nasional. Tetapi masih merupakan gejala, karena sesungguhnya masyarakat kita masih ingin bersatu. Kalaupun ada gerakan-gerakan yang Anda sebutkan tadi, itu hanya gangguan kecil yang masih diatasi aparat kemananan,” jelas dokter seraya tersenyum.
“Lantas, apa obatnya dokter?” tanya pasien. “Selain menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, sila ke-5 dari Pancasila harus ditegakkan, maka gangguan terhadap persatuan bangsa bisa diatasi,” imbuh sang dokter. (Nano Tresna Arfana/mh)