Jakarta, 31 Januari 2013.- Persoalan Bupati Kabupaten Garut Aceng HM Fikri bergulir ke Mahkamah Konstitusi. Tak puas dengan putusan MA, Aceng mengajukan permohonan fatwa ke MK. Melalui surat Bupati Garut tertanggal 25 Januari 2013 Nomor Istimewa, Aceng, memohon kepada MK untuk memberi penjelasan dan/atau fatwa tentang apa syarat-syarat dan ketentuan seorang Kepala Daerah dapat diberhentikan dan siapakah yang memiiki kewenangan untuk memberhentikannya.
“Untuk menghindari kesimpangsiuran dan kekeliruan persepsi bagi kami dan masyarakat luas, tentang syarat-syarat diberhentikannya seorang pejabat Kepala Daerah sesuai perundang-undangan yang berlaku,” papar Aceng dalam suratnya.
Merespon surat tersebut, para Hakim Konstitusi kemudian menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim pada Kamis, (31/1) di Ruang RPH untuk mengambil keputusan. Hasilnya, MK menyatakan tidak berwenang untuk memberikan fatwa.
Permohonan tersebut, menurut MK, bukan merupakan kewenangan MK sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU Mahkamah Konstitusi. “Mahkamah Konstitusi tidak dapat memenuhi permohonan saudara (baca: Aceng),“ tulis MK dalam tanggapan resminya, melalui Surat No. 14/PAN.MK/1/2013 tertanggal 31 Januari 2013 perihal Permohonan Penjelasan/Fatwa.
Selanjutnya, MK menegaskan, terhadap lembaga-lembaga terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Garut, Gubernur Jawa Barat, Menteri Dalam Negeri dan lembaga terkait lainnya, dapat segera mengambil langkah-langkah sesuai prosedur dan kewenangan masing-masing. Sebab, MK tidak akan menangani perkara tersebut. Sehingga, tak perlu mengulur-ulur waktu dengan alasan menunggu vonis MK. Dengan terbitnya Surat No. 14/PAN.MK/1/2013 tersebut, sikap MK sudah final. Melalui surat ini, MK telah menjawab dan menegaskan sikapnya atas persoalan yang menimpa Bupati Garut Aceng Fikri.
Untuk diketahui, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada pokoknya menyatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum, serta berkewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.