“Sebaiknya MK mengabulkan permohonan kami, agar putuskan saja sengketa ini diselesaikan di peradilan agama, sama seperti yang diijelaskan oleh ahli yang dihadirkan oleh MK tadi.”
Demikian yang disampaikan Dadang Ahmad sebagai Pemohon pada uji materi UU Perbankan Syariah di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon menyampaikan tuntutannya agar sengketa perbankan syariah yang melibatkan Bank Muamalat, dapat diselesaikan bukan di peradilan umum melainkan di Pengadilan Agama. Pemohon menyakini, sesuai dengan Syariah Islam yang diterapkan di Perbankan Syariah, maka segala konflik yang terjadi, seyogianya harus diselesaikan di Pengadilan Agama yang lebih memahami seluk beluk syariah.
Pada sidang terakhir Selasa pagi (29/1), MK menghadirkan ahli perbankan syariah, Syafii Antonio, yang dalam keterangannya menilai bahwa tersedianya dua opsi penyelesaian sengketa yang disebutkan dalam UU Perbankan Syariah justru akan menimbulkan ketidakpastian jalur mana yang harus ditempuh guna menyelesaikan perselisihan antara bank dan nasabah. Ia mencontohkan, di banyak kasus, pihak yang kalah di Peradilan Umum akan melanjutkan proses hukum di Pengadilan Agama, dan begitu juga sebaliknya, pihak yang kalah di Pengadilan Agama akan mencari celah hukum di Peradilan Umum. Antonio mengkhawatirkan, jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka akan menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi dunia perbankan nasional.
Lebih lanjut ia menyarankan, agar kedepannya dalam kesepakatan yang di buat oleh kedua belah pihak, harus disebutkan secara jelas dimana tempat penyelesaian jika terjadi sengketa. Jika seandainya harus diselesaikan di peradilan umum, maka kedua belah pihak harus mematuhi segala konsekuensi yang ditimbulkan. Jika seandainyapun Pengadilan Agama menjadi tempat penyelesaian, maka Pengadilan Agama harus diperkuat secara institusi agar memiliki sumber daya manusia dan perangkat hukum yang lebih profesional.
“Agar tidak terjadi perselisihan, maka MK harus mencabut huruf D, putuskan mau diselesaikan di Pengadilan Agama atau di Pengadilan Umum,” ujarnya lagi.
Harus Diselesaikan Sesuai Isi Akad
Dilain pihak, Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan HAM dalam sesi tanya jawab dengan Media MK, menolak beredarnya stigma, adanya dua pilihan penyelesaian sengketa, telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Pihaknya justru menilai, dua pilihan tersebut merupakan bukti terhadap aspek perlindungan hukum, dimana para pihak dapat menyepakati tempat akhir penyelesaian perselisihan, tanpa dipaksakan oleh aturan norma hukum yang berlaku.
“Karena ini kasus perdata, maka kedua belah pihak dapat menempuh jalur perundingan, mediasi. Seharusnya kedua belah pihak harus menyepakati dimana akan menyelesaikan sengketa, bisa di peradilan umum maupun pengadilan agama, itu saja!” tukasnya menutup perbincangan. (Juliette/mh)