Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Perkara Pengujian UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pasal 12 huruf k, Pasal 51 ayat (1) huruf k, ayat (2), huruf h, dan Pasal 68 ayat (2) huruf k), Selasa (29/1). Perkara yang teregistrasi dengan nomor 15/PUU-XI/2013 ini dimohonkan oleh para kepala daerah, yaitu Muslim Kasim (Wakil Gubernur Sumatera Barat), M. Shadiq Pasadigoe (Bupati Tanah Datar), Syamsu Rahim (Bupati Solok), dan Nasrul Abit (Bupati Pesisir Selatan).
Kuasa Hukum Para Pemohon, Khairul Fahmi dan Ilhamdi hadir dalam persidangan perdana dengan agenda pemeriksaan perkara yang diketuai Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar. Dalam penjelasannya, Khairul menyampaikan bahwa Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 12 huruf K, Pasal 51 ayat (1) huruf K ayat (2) dan huruf H, serta Pasal 68 ayat (2) huruf k dalam UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Para Pemohon dalam permohonnya mengajukan legal standing selaku perseorangan warga negara, bukan sebagai pejabat. Sebagai perseorangaWN yang hendak menjadi calon legislatif (caleg), Para Pemohon merasa dirugikan, salah satunya oleh Pasal 12 huruf k yang mensaratkan agar mereka mengundurkan diri dari jabatannya. Pasal 12 huruf k berbunyi sebagai berikut.
k. mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.
Pasal tersebut menurut Pemohon, seperti yang disampaikan Khairul, merugikan Pemohon karena hak-haknya untuk menjadi caleg dibatasi. Dalam Pasal 12 huruf k disebutkan bahwa yang harus mengundurkan diri antara lain adalah kepala daerah, wakil kepala daerah, dan pegawai negeri sipil. Padahal, lanjut Khairul, jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan politik yang tidak bisa disamakan dengan jabatan negera yang dibiayai APBN dan APBD.
“Ketentuan pasal-pasal yang kami ajukan untuk diuji bersifat diskriminatif. Jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan politik karena diperoleh dengan proses politik. Seharusnya antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan anggota DPR, DPD, dan DPRD yang juga memangku jabatan politik diperlakukan sama saat mencalonkan diri sebagai caleg, tapi ini tidak diberlakukan sama,” ujar Khairul menggugat.
Pasal 51 ayat (1) huruf k UU yang sama juga digugat Pemohon dengan alasan yang sama, yaitu diskriminasi terhadap jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pasal 15 ayat (1) huruf k tersebut berbunyi, “Pasal 51 (1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan ... huruf [k] mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.”
Norma-norma dalam UU tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD itu menurut Khairul telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kliennya. Pasalnya, yang seharusnya Para Pemohon menjabat selama lima tahun menjadi kurang dari itu karena harus mengundurkan diri ketika mengajukan diri sebagai caleg. “Ketentuan itu telah menyebabkan ketidakpastian hukum kepada masa jabatan para Pemohon,” tukas Khairul.
Saran Hakim
Selayaknya dalam sidang pendahuluan di MK, ketiga hakim panel pada perkara ini juga memberikan saran atau nasihat kepada Pihak Pemohon. Anggota Panel Hakim Hamdan Zoelva menyampaikan bahwa penjelasan mengenai legal standing Pemohon sebaiknya lebih fokus atau dipertajam saja, tidak perlu melebar. Selain itu, Hamdan juga menasihati agar Pemohon membedakan dengan benar kerugian yang diderita Pemohon sesuai batu uji yang digunakan.
Di akhir sidang, Ketua Panel Hakim M. Akil Mochtar menyampaikan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan yang ditunggu selama 14 hari kerja sejak saat ini. “Ditunggu perbaikan permohonan Saudara selama 14 hari kerja. Kalau tidak ya nanti yang kami periksa hanya permohonan yang ini (yang belum diperbaiki, red),” tutup Akil yang juga didampingi anggota Panel Hakim Muhammad Alim. (Yusti Nurul Agustin/mh)