Sidang pemeriksaan pendahuluan Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) - Perkara No. 4/PUU-XI/2013 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (14/1) pagi di Ruang Sidang MK. Pemohon adalah Sri Sudarjo selaku Presiden Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat Independen.
Pemohon berdalih, pemilihan calon presiden dan wakil presiden Indonesia selama ini sangat bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang hanya diatur oleh segelintir elit dengan sistem prosentase.
“Hal ini menyebabkan proses manipulasi suara rakyat secara masif serta berpotensi menimbulkan massa rakyat yang sadar untuk tidak memilih dan menjadikan golput sebagai pilihan politik,” ujar Pemohon kepada Majelis Hakim Konstitusi.
Dikatakan Pemohon, norma hukum dalam UU Pilpres Presiden Pasal 1 ayat (2), Pasal 9. Pasal 10 ayat (1), Pasal 14 ayat (2) merupakan norma hukum yang diskriminatif karena bertentangan dengan hak-hak konstitusional Pemohon, sehingga harus dinyatakan inkonstitusional.
Dalam UU Pilpres, Pasal 1 ayat (2) disebutkan, “Partai adalah partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilihan umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal 9, “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden.”
Sedangkan Pasal 10 ayat (1), “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.” Pasal 14 ayat (2), “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil pemilu anggota DPR.”
Pemohon melanjutkan, presiden dan wakil presiden merupakan wujud dari kedaulatan rakyat yang tidak terlahir dari konspirasi, manipulasi, kongkalikong segelintir elit atas nama DPR. Bagaimanapun DPR bukanlah wujud kedaulatan yang bertindak, berbuat berdasarkan semangat dari rakyat dan untuk rakyat sehingga DPR saat ini tidak pernah bertindak mewakili rakyat adat tertindas, buruh tertindas, kaum jomp tertindas, kaum miskin di kota maupun buruh tani.
“DPR saat ini lebih merupakan perpanjangan tangan imperialisme dan telah menjadi mesin pembunuh terhadap rakyat Indonesia. Apabila kita memandang secara historis, bukanlah DPR yang melahirkan Pancasila dan UUD 1945, namun DPR lah yang membuat Pancasila dan UUD 1945,” imbuh Pemohon.
Hal itu, lanjut Pemohon, bisa dilihat dari sejarah Pancasila dan UUD 1945 berawal dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) adalah panitia yang bertugas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
“Sebelum panitia itu terbentuk, telah berdiri BPUPKI. Namun karena dianggap terlalu cepat ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan, maka Jepang membubarkannya dan membentuk PPKI pada 7 Agustus 1945 yang diketuai Ir. Soekarno,” demikian ungkap Pemohon. (Nano Tresna Arfana/mh)