Pengurus Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dan tokoh lintas agama mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk berkonsultasi dengan Ketua MK Moh. Mahfud MD, Senin (28/1). Kehadiran para pengurus ICRP dan para tokoh lintas agama berkaitan dengan SK Walikota Blitar No. 8 Tahun 2012 yang mewajibkan setiap anak didik beragama Islam di Kota Blitar harus mampu membaca Al Quran. Kebijakan tersebut berimbas pada enam sekolah Katolik di Kota Blitar yang diharuskan memberikan pelajaran agama non Katolik.
Ketua Umum Pengurus Harian ICRP Musdah Mulia, Bendahara ICRP G. Sulistiyanto, dan Dewan Pembina ICRP Sinta Nuriah Abdurrahman Wahid melakukan tatap muka dengan Mahfud MD di ruang delegasi, lantai 15, Gedung MK. Dalam tatap muka tersebut Musdah menyampaikan, kehadiran mereka ke MK menyusul adanya SK Walikota Blitar, Samahudi Anwar yang memerintahkan siswa beragama Islam untuk mampu membaca Al Quran. SK tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian Agama Kota Blitar yang mewajibkan enam sekolah Katolik memberikan pelajaran agama non katolik kepada siswanya. Keenam sekolah Katolik dimaksud, yaitu SMA Katolik, SMA Kejuruan Diponogoro, STM Katolik, SMP Yos Sudarso, SD Santa Maria, dan TK Santa Maria.
“Kedatangan kami ini terkait dengan kasus Blitar. Sudah banyak kasus di masyarakat soal pendidikan agama yang seharusnya menjadi kewenangan pusat. Namun saat ini di daerah-daerah muncul Perda-perda seperti di Blitar yang mewajibkan baca tulis Al Quran. Hal ini yang akhirnya juga berdampak ke sekolah Katolik,” jelas Musdah yang saat itu menjadi juru bicara rombongan ICRP.
Hal senada juga ditegaskan oleh Romo Johanes Haryanto SJ yang juga hadir dalam acara tersebut. Ia mengatakan bahwa sebenarnya banyak sekolah negeri yang tidak menyediakan fasilitas agama untuk siswa yang beragama minoritas. “Kalau ini mau diberlakukan seharusnya dimulai dari sekolah negeri,” ujarnya.
ICRP juga menilai PP No. 55 Tahun 2007 hanya mengatur pendidikan keagamaan yang berbasis pada enam agama saja sehingga mengesampingkan penganut kepercayaan dan agama lokal. ICRP pun menegaskan bahwa PP No. 55 Tahun 2007 tersebut tidak memenuhi aspek keadilan dan kesamaan semua orang di depan hukum.
Di akhir acara, Romo Johanes Haryanto membacakan pernyataan sikap ICRP. Salah satu poin dari pernyataan sikap ICRP, yaitu meminta agar MK meninjau kembali UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas secara keseluruhan.
Kewenangan MK
Menanggapi pernyataan sikap ICRP tersebut, Ketua MK mengatakan bahwa MK merupakan lembaga peradilan yang hanya bisa menyelesaikan masalah lewat putusan-putusannya, bukan dengan kebijakannya. “Jadi kalau ada perkara, baru MK bisa menyelesaikannya lewat putusan MK. Kewenangan MK juga terbatas dengan lima hal, yaitu memutus sengketa perselisihan hasil pemilihan umum, memutus perkara pengujian undang-undang, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan impeachment,” papar Mahfud.
Mahfud juga mengatakan bahwa usul agar MK merevisi UU Sisdiknas tidak bisa dilakukan oleh MK. Pasalnya, judicial review di MK hanya bisa dilakukan oleh MK kalau ada yang menggugatnya ke MK. “UUD 1945 tidak memperbolehkan kami untuk men-judicial review UU bila tidak ada permohonan bahwa mereka merasa dirugikan. Kalau memang ada UU yang dirasa merugikan bisa diajukan ke sini. Bisa diajukan untuk diuji secara keseluruhan atau pasal-pasal tertentu,” tegas Mahfud.
Soal sekolah mewajibkan sekolah Katolik pemberian pelajaran agama kepada siswanya yang beragama Islam, Mahfud menyarankan agar persoalan teknis tersebut bisa diatur melalui pengkhususan. “Pada prinsipnya pengadaan pelajaran agama itu harus. Jadi soal mengadakan guru sesuai agama yang dianut siswa itu persoalan teknis. Menurut saya, bisa dengan disuruh belajar di luar sekolah tersebut di institusi yang memang mengajarkan agama siswa itu. Nanti nilainya tinggak dikirim ke sekolah,” saran Mahfud.
Di akhir pertemuan, Mahfud menegaskan bahwa tidak boleh ada diskriminasi berdasar agama dalam dunia pendidikan. (Yusti Nurul Agustin/mh)