Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mendapat kunjungan dari para mahasiswa di minggu keempat bulan Januari 2013 ini. Kali ini mahasiswa Fakultas Sosial Ilmu Politik Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, Jawa Barat yang berkunjung ke MK, Senin (21/1). Kunjungan para mahasiswa berjaket almamater warna kuning itu disambul oleh Staf Ketua MK yang juga Peneliti MK, Fajar Laksono. Para mahasiswa juga berkesempatan mendapatkan paparan materi seputar MK dari Fajar.
Fajar di hadapan para mahasiswa Unsil menjelaskan, bahwa MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia. Dikatakan salah satu karena ada satu lembaga lagi yang menjadi pelaku pelaksana kehakiman di Indonesia, yaitu Mahkamah Agung (MA). Baik MK maupun MA memiliki posisi sejajar dalam hierarki ketatanegaraan di Indonesia.
Perbedaan antara MK dan MA menurut Fajar ada pada kewenangannya. Fajar mengatakan MK merupakan lembaga peradilan yang menangani perkara yang terkait dengan konstitusi atau dengan kata lain mengadilii norma atau aturan. Sedangkan MA mengadili orang yang melakukan suatu perbuatan yang diduga melanggar hukum. “MA itu mengadili orang, sedangkan MK mengadili norma. Selain itu kalau MA memiliki cabang di daerah, sedangkan MK hanya satu di ibu kota, Jakarta. Kalau ibu kota mau dipindah, MK juga nanti ikut pindah” jelas Fajar sembari melontarkan guyonan.
Karena kedudukan MK hanya ada di Jakarta, kerap kali beberapa orang mengatakan persidangan di MK membutuhkan biaya mahal. Hal itu menjadi benar kalau dikaitkan dengan uang untuk akomodasi dan transportasi para saksi maupun ahli yang didatangkan dalam persidangan di MK. “Jadi yang mahal itu ongkos ke Jakartanya, bukan mahal biaya berperkara di MK. Berperkara di MK itu gratis, bahkan untuk meminta risalah atau foto pun tidak dikenai biaya apa pun, semua sudah ditanggung APBN,” jelas Fajar.
Menyikapi mahalnya “ongkos” persidangan di MK, Fajar menjelaskan bahwa MK sebenarnya sudah menyikapinya dengan menyediakan fasilitas video conference (vicon). Fasilitas vicon itu diselenggarakan di fakultas hukum universitas-universitas di seluruh Indonesia yang bekerja sama dengan MK. “Jadi antara Sabang di Aceh dengan MK di Jakarta bisa terhubung dengan fasilitas vicon ini. Secara hukum beracara itu (vicon, red) sah. Tapi orang-orang masih banyak yang ke Jakarta ketimbang memanfaatkan vicon,” papar Fajar menyayangkan.
Selain menjelaskan mengenai proses beracara di MK, Fajar juga menjelaskan mengenai kewenangan MK. Fajar menyebutkan, bahwa kewenangan MK yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutuskan pembubaran Parpol, memutuskan perselisihan hasil pemilu, dan satu kewajiban untuk memberikan putusan terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan presiden dan wakil presiden menurut UUD 1945. “Sampai saat ini hanya kewenangan membubarkan partai politik dan kewajiban memberikan putusan terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan presiden dan wakil presiden menurut UUD 1945 yang belum pernah MK lakukan. Kalau membubarkan partai politik satu catatannya, Pemohonnya harus pemerintah,” terang Fajar.
Fajar juga menjelaskan mengenai komposisi hakim konstitusi Indonesia yang berjumlah sembilan orang. Kesembilan hakim konstitusi itu terdiri dari tiga cabang kekuasaan di Indonesia, yaitu tiga orang berasal dari DPR, tiga orang berasal dari MK, dan tiga orang lainnya dipilih presiden. “Meski berasal dari lembaga-lembaga itu tetapi hakim MK tidak ada lagi hubungannya dengan lembaga yang mengusulkannya. Begitu mengucap sumpah sebagai hakim konstitusi, putus sudah hubungannya dengan lembaga-lembaga itu,” tukas Fajar. (Yusti Nurul Agustin/mh)