Pendidikan Tinggi (PT) merupakan tingkat pendidikan yang berperan sangat penting dalam mencetak dan mencerdaskan kemampuan warga negara. Sehingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Pemerintah setelah melihat sejumlah persoalan dan kebutuhan masyarakat marasa perlu membuat Undang-Undang (UU) PT untuk mengoptimalkan dan menfasilitasi perkembangan mutu PT di Indonesia.
“Pendidikan tinggi yang bermutu akan berkontribusi dalam peningkatan daya saing bangsa,” jelas Anggota DPR Yahdil Harahap saat memberikan keterangan dari DPR dalam sidang pengujian UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi - Perkara No. 103 dan 111/PUU-X/2012 - di Mahkamah Konstitusi, Rabu (16/1).
Oleh karenanya, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 65, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 86, dan Pasal 87 (perkara No. 103), dan Pasal 50, Pasal 65, Pasal 74, Pasal 76, dan Pasal 90 (perkara No. 111) bertentangan dengan UUD 1945, kata Yahdil, tidak beralasan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Yahdil berpandangan, ketentuan Pasal 64 dan Pasal 65 UU tersebut dimaksudkan untuk mengatur otonomi pengelolaan PT sebagai lembaga ilmiah yang mencari kebenaran demi mutu PT di Indonesia. “Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang menyatakan otonomi telah melegitimasi perguruan tinggi dapat menerapkan praktik komersialisasi, tidak cukup berasalan,” terangnya.
Sementara Pasal 73 ayat (1) yang menyebutkan, “Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap Program Studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain,” para Pemohon mendalilkan bahwa adanya pasal tersebut tidak menjamin akses terhadap pendidikan tinggi yang adil, tidak diskriminatif, dan murah, serta terjangkau bagi seluruh warga negara. Terhadap dalil tersebut, DPR menanggapi bahwa semua ketentuan yang dimaksudkan dalam pasal tersebut tentang pola penerimaannya wajib memperhatikan Pasal 73 Ayat (5) yang menyebutkan, “Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.”
“Oleh karena itu, jika terjadi komersialisasi dengan menerapkan pemungutan yang tinggi, maka hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan penerapan norma,” tegas Yahdil.
Sidang yang dimohonkan oleh M. Nurul Fajri, Candra Feri Caniago, Depitriadi, dkk (perkara No. 103), dan Azmy Uzandy, Khairizvan Edwar, Ilham Kasuma (perkara No. 111) tersebut juga mendengarkan keterangan Ahli Para Pemohon (No. 103), Mestika Zed dan Ahi Pemerintah Johannes Gunawan. Masing-masing ahli menguatkan dalil dari para Pemohon dan pihak Pemerintah.
Memperkuat Komersialisasi
Menurut Mestika, UU PT yang didalamnya mengatur otonomi kampus lebih condong ditekankan pada pengelolaan keuangan (komersialisasi) dari pada pengelolaan yang lain. Hal demikian terlihat dalam berbagai macam program kampus yang tampak dikomersialkan. “Saya sungguh menyaksikan bahwa UU PT memang memperkuat gejala komersialisasi di kampus kita,” ujar Ahli para Pemohon tersebut.
Mestika juga mengutarakan kegelisaannya terhadap UU yang dibuat oleh pemerintah dan DPR. Semakin hari, kata dia, UU yang dihasilkan tidak memihak kepada rakyat, terutama UU yang sedang diujikan di MK. “Pada dasarnya dunia mahasiswa semakin digelisakan dengan UU Negara yang semakin tidak memihak kepada rakyat terutama UU PT Tahun 2012,” tuturnya.
Sementara Johannes berkata sebaliknya. Menurutnya, Pasal 65 ayat (1) UU PT yang intinya PT diberi status badan hukum bukan mengalihkan pengelolaan pendidikan dari sektor publik ke sektor swasta dan bukan pula mengurangi kegiatan pemerintah dalam sektor pendidikan. Menurutnya, pasal tersebut tidak ada satu kata pun yang menyatakan atau memberi indikasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diberi status badan hukum melalui salah satu dari tiga cara privatisasi, yakni dikontrakkan, diregulasi, dan dijual. “kalau ada PTN dikontrakkan, maka akan hancur negara kita,” ujarnya.
Kalau bukan privatisasi, apa alasannya? Menurutnya, alasannya tidak tersirat namun telah tersurat dalam Pasal 65 ayat (1) tersebut yaitu menyelenggarakan otonomi PT. “Bukan dikontrakkan atau dijual, tetapi untuk menyelenggarakan otonomi perguruan tinggi,” terangnya.
Sidang lanjutan akan digelar pada Selasa (5/2) pukul 11.00 WIB, untuk mendengarkan ahli dari masing-masing pihak, termasuk ahli yang hadir dan memberikan keterangan dalam persidangan ini. (Shohibul Umam/mh)