Sekitar 60 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Jawa Barat, didampingi Dekan FH serta beberapa dosen mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (14/1) siang. Kunjungan mereka disambut oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim di Ruang Konferensi Pers, lantai 4 gedung MK, Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Alim menjelaskan sekilas mengenai prinsip negara nukum dan kewenangan konstitusional yang dimiliki MK. "Negara Indonesia adalah negara hukum dimana kedaulatannya berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar," ujar Alim.
Menurutnya, keadilan tidak identik dengan hukum. Hukum itu menyamaratakan sedangkan keadilan tidak menyamaratakan. "Menerapkan keadilan itu tidak boleh menyamaratakan," ujarnya.
Lebih lanjut, Alim memaparkan tentang kewenangan MK. Ada empat kewenangan MK. Pertama, pengujian undang-undang terhadap UUD yang biasa disebut pengujian konstitusional (constitutional review). Lalu kewenangan yang kedua yaitu mengadili sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan undang-undang dasar.
"Misalnya kalau terjadi sengketa kewenangan antara DPR dan DPD, karena kedua lembaga tersebut kewenangannya diberikan oleh UUD. Dalam setiap perselisihan, semua pihak merasa benar. Meskipun demikian pihak yang benar tidak dapat ditentukan oleh para pihak," papar Alim. Dalam hal itulah MK berperan menentukan lembaga mana yang memiliki wewenang sesuai konstitusi.
Ketiga, kewenangan memutus pembubaran partai politik. Dan yang terakhir, perselisihan hasil pemilihan umum. Namun, kata Alim ada satu kewenangan yang belum pernah masuk di MK hingga saat ini. Kewenangan tersebut adalah mengadili pembubaran partai politik. “Semua kewenangan sudah dilaksanakan, namun untuk kewenangan pembubaran partai politik belum ada perkara yang masuk di MK, karena yang bisa mengajukan hanya pemerintah,” urai Alim dihadapan para peserta yang datang dari Jawa Barat tersebut.
Selain kewenangan tersebut, lanjut Alim, terdapat kewajiban yang dimiliki oleh MK, yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Untuk perkara ini, juga belum pernah ditangani oleh MK. (Utami Argawati)