Misi suci agama kadang berbenturan dengan apa yang terjadi di lapangan. Faktanya, terdapat sekelompok pemeluk agama melakukan kekerasan atas nama agama. Mereka bebas menuding orang lain sebagai pendosa, memukul, mengintimidasi, bahkan melakukan pengrusakan. Padahal, pada prinsipnya, semua agama hadir membawa pesan damai dan penuh toleransi.
Pertanyaannya, ada apa dengan kehidupan beragama kita? Ke mana sikap penuh toleransi yang dulu ada dan lestari di Indonesia. Kenapa kekerasan atas nama agama semakin bermunculan. Ada persoalan apa sebenarnya.
Untuk mengkaji persoalan itu, Mahkamah Konstitusi dan The Wahid Institute melakukan kerja sama menggelar Seminar “Kekerasan Atas Nama Agama dan Masa Depan Toleransi Di Indonesia” pada Selasa (8/1) siang, di Aula Lantai Dasar Gedung MK, Jakarta. Hadir sebagai pembicara, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Direktur The Wahid Institute Yenny Zanuba Wahid, dan Kepala Biro Pengawasan Penyelidikan Bareskrim Polri Brigjen Polisi Ronny F. Sompie.
Seminar yang dimoderatori oleh Koordinator Program The Wahid Instituse Rumadi tersebut, dibuka oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD. Dalam sambutannya, Mahfud mengungkapkan bahwa jika kita ingin menilai kerukunan beragama di Indonesia, dapat dilihat pada dua level. Pertama, level konseptual paradigmatik. Dan kedua, level operasional implementatif.
Pada level konseptual paradigmatik, menurut Mahfud, sebenarnya sudah relatif bagus. Bahkan, pada tataran konstitusi, perlindungan dan jaminan terhadap hak keberagamaan sudah sangat jelas dan tegas. Sehingga, persoalan kerukunan beragama yang terjadi saat ini, lebih pada tataran praktik di lapangan. “Sifatnya sangat kasuistik,” tegas Mahfud.
Oleh karena itu, menurutnya, jika dinilai dalam sudut pandang yang lebih luas, sesungguhnya persoalan kekerasan atas nama agama di Indonesia tidak terjadi secara masif. Meskipun, di satu sisi, tetap harus diperhatikan dan dicari solusi terbaiknya. Sehingga, dia pun berharap, seminar ini dapat lebih memfokuskan pembahasan pada tataran praktik, bukan lagi pada hal-hal yang teoritis dan normatif. Hingga dapat melahirkan solusi yang implementatif.
Akar Masalah
Setelah pembukaan, selanjutnya para narasumber secara bergiliran memaparkan pandangannya. Dalam penjelasannya, Hamdan Zoelva mengungkapkan akar masalah kekerasan atas nama agama. Menurutnya, terdapat lebih dari satu alasan yang melahirkan tindakan itu. Diantaranya, karena pemahaman ajaran agama yang salah atau menyimpang, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan peran negara yang tidak proaktif untuk menyelesaikan. “Bisa juga karena peraturan perundang-undangan yang tidak tegas dan jelas sehingga banyak penafsiran dalam penerapannya.”
Secara konstitusional, hak beragama telah dirumuskan antara lain dalam Pasal 29 Ayat (2) serta 28E Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. Namun begitu, di Indonesia, kata Hamdan, negara tidak mengambil jarak dengan persoalan agama. “Indonesia bukan negara agama, tapi bukan pula negara sekuler,” ujarnya.
Menurutnya, negara boleh melakukan pengaturan-pengaturan dalam rangka menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Dengan terus disertai upaya-upaya membangun pemahaman yang sama antar umat beragama, sehingga tercipta toleransi, saling menghormati, dan kerukunan.
Adapun Yenny Wahid, dalam paparannya menyajikan data-data terkait kekerasan atas nama agama yang terjadi di beberapa tempat. Data tersebut diperoleh dari hasil kajian yang dilakukan oleh The Wahid Institute selama ini, khususnya pada 2012. Pada intinya, data itu menunjukkan bahwa kekerasan atas nama agama dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Dan, pelanggaran yang paling banyak ditemui, dilakukan oleh aparat kepolisian.
Meskipun, dia juga tidak memungkiri bahwa masih ada perkembangan positif yang terjadi. Salah satunya adalah putusan MK dalam uji Undang-Undang Perkawinan, yang didalamnya menyatakan bahwa orang tua biologis anak di luar kawin harus tetap bertanggungjawab, khususnya bapak biologis anak tersebut. Disamping itu, adapula kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu yang digelar dengan panitia yang terdiri dari penganut agama berbeda.
Sedangkan Brigjen Polisi Ronny F. Sompie, menjelaskan tentang berbagai upaya kepolisian dalam menangani kasus-kasus kekerasan atas nama agama. Setidaknya dua hal yang dilakukan oleh kepolisian, yakni melakukan pencegahan dan menyelesaikan persoalan secara restoratif atau secara damai. “Menyelesaikan persoalan hukum pidana di luar persidangan,” ungkapnya. (Dodi/mh)