Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan atas perkara nomor 80/PUU-X/2012 perihal pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), yakni Pasal 50 ayat (3). Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon sudah pernah diputus sehingga harus dinyatakan ne bis in idem.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Moh. Mahfud MD saat membacakan putusan tersebut dengan didampingi hakim konstitusi lainnya, Selasa (8/1), di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam perkara yang diajukan oleh Habiburokhman, Muhamad Maulana Bungaran, dan Munathsir Mustaman ini, Mahkamah berpendapat bahwa putusan Pasal 50 ayat (3) UU KPK telah pernah dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dan diputus dalam Putusan Nomor 81/PUU-X/2012, bertanggal 23 Oktober 2012, dengan amar putusan, “Menyatakan Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”.
“Norma dan materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian Putusan Nomor 81/PUU-X/2012 pada hakikatnya sama dengan permohonan a quo, dengan demikian permohonan para Pemohon harus dinyatakan ne bis in idem,” jelas Hakim Konstitusi Fadlil Sumadi saat membacakan putusan tersebut.
Pasal 50 ayat (3) UU KPK menyebutkan, “Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan“.
Sementara dalam pertimbangan hukum pada Putusan Nomor 81/PUU-X/2012 ini, Pemohon mendalilkan bahwa terjadi dualisme dalam penanganan tindak pidana korupsi yang oleh Pemohon didalilkan adanya dualisme yang merugikan hak konstitusional advokat karena Pemohon menghadapi ketidakpastian dan ketidakadilan dalam penanganan perkara korupsi.
Menurut Mahkamah, meskipun terdapat dualisme namun keduanya tidaklah tumpang tindih karena masing-masing institusi tetap dapat menjalankan kewenangannya dan untuk menghilangkan ketidakpastian dan ketidakadilan tersebut KPK diberikan kewenangan khusus untuk melakukan supervisi dan koordinasi. Dalam kaitan ini, kata Mahkamah, maka yang menjadi dasar adalah hubungan antara lex specialis dan lex generalis.
Seperti diwartakan, Pemohon perkara No. 80 sebelumnya menyatakan bahwa Pasal 50 ayat (3) UU KPK menjelaskan bahwa frasa “kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan” tidak secara jelas merumuskan wewenang penyidikan yang mana semula dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan menjadi hapus setelah KPK memulai penyidikan berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Oleh karena itu, Pemohon menyatakan memohon sebagaimana dalam petitum atau tuntutannya bahwa Pasal 50 ayat (3) UU KPK sepanjang frasa “kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai “wewenang kepolisian atau kejaksaan untuk menyidik dalam perkara tersebut sebagaimana diatur dalam UU selain UU ini dihapuskan”. (Shohibul Umam/mh)