Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan Perkara Nomor 76/PUU-X/2012 yang dimohonkan oleh Fadel Muhammad, Selasa (8/1). Mahkamah memutuskan untuk menolak untuk seluruhnya permohonan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945 tersebut.
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan perkara ini yang digelar, Selasa (14/8/2012) melalui kuasa hukumnya, Fadel Muhammad yang kini berstatus tersangka perkara dana sisa lebih penggunaan anggaran APBD Provinsi Gorontalo 2001 sebesar 5,4 miliar rupiah melakukan gugatan atas frasa “Pihak Ketiga yang Berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP. Fadel menilai pengertian frasa tersebut terlalu luas sehingga dapat disalahartikan hingga merugikan dirinya.
“Kami memohonkan uji materil Pasal 80 KUHAP dan menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pengertiannya `Pihak Ketiga yang Berkepentingan` tidak dimaknai termasuk pula Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai subjek hukum yang memiliki hak gugat praperadilan,” ucap kuasa hukum Pemohon, Muchtar Luthfi kala itu.
Muchtar kala itu menjelaskan kasus yang melilit kliennya itu tidak cukup bukti sehingga penyidik menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Namun, LSM Gorontalo Corruption Watch (GCW) mengajukan gugatan praperadilan atas penghentian penyidikan kasus dugaan penyimpangan dana APBD Gorontalo pada tahun 2001 silam. Gugatan tersebut pun dikabulkan, sehingga perkara dibuka kembali dan Fadel Muhammad yang merupakan Mantan Gubernur Gorontalo dan Menteri Kelautan resmi ditetapkan sebagai tersangka dengan surat panggilan tersangka dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo.
Tidak Beralasan Hukum
Terhadap perkara tersebut Mahkamah berpendapat, walaupun KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, namun menurut Mahkamah yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas. Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal yang diujikan tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) seperti lembaga swadaya masyarakat atau organisasi masyarakat lainnya. Pasalnya, KUHAP pada hakikatnya adalah instrumen hukum untuk menegakkan hukum pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum.
Mahkamah juga berpendapat bahwa hak konstitusional yang dimaksudkan dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon tidaklah dimaksudkan untuk menjamin agar seseorang yang telah mendapatkan SP3 tidak dapat diajukan praperadilan hanya dengan alasan untuk menjamin dan melindungi kepastian hukum. Sebab, kepastian hukum yang dimaksudkan adalah kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sedangkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 80 KUHAP yang digugat oleh Pemohon sejatinya bukan hanya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan tersangka seperti Pemohon, tetapi dalam pengertian luas dimaksudkan pula untuk melindungi kepentingan seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, Mahkamah menilai Pasal 80 KUHAP tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan hukum.
Berikut kutipan pendapat Mahkamah terkait hal tersebut.
Oleh karena itu ketentuan a quo, menurut Mahkamah tidak bersifat diskriminatif dan tidak menciderai hak-hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum serta untuk mendapatkan perlindungan atas perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Hal tersebut merupakan konsekuensi dari pengakuan sebagai negara hukum yang demokratis sebagaimana di tegaskan oleh Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, ketentuan tersebut juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana didalilkan oleh Pemohon;
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, Pasal 80 KUHAP tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan hukum.
Menutup pembacaan putusan Mahkamah, Ketua MK Moh. Mahfud MD secara langsung membacakan amar putusan Mahkamah. “Amar Putusan. Mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi,” ujar Mahfud yang didamping delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Sekedar diketahui, putusan kali ini tidak diwarnai dengan dissenting opinion dari para hakim konstitusi. (Yusti Nurul Agustin/mh)