Undang-Undang tentang Sistem Budidaya Tanaman tidak berpihak kepada rakyat, karena di dalamnya mengandung kriminalisasi terhadap para petani. Bahkan, UU ini juga dituding lebih mengakomodasi kepentingan pengusaha.
Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan Perkara No. 99/PUU-X/2012 yang dimohonkan oleh sejumlah LSM antara lain Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), dan Aliansi Petani Indonesia (API), Kamis (3/1) di Ruang Sidang Pleno MK. Pada sidang ini, Pemohon menghadirkan masing-masing dua orang ahli dan saksi. Hadir sebagai ahli, Dwi Andrias Sartono dan Edy Martono, sedangkan sebagai saksi, Setyarman dan Gatot Surono.
Dalam kesaksiannya, Gatot Surono dan Setyarman, yang sehari-harinya berprofesi sebagai petani, mengungkapkan bahwa diberbagai daerah, terutama petani di Jawa, seringkali dikriminalisasikan dengan berlakunya UU tersebut. “Banyak para petani kita yang terkena kasus. Kalau tidak dipenjarakan ya diperas. Supaya mengeluarkan banyak uang hingga kasusnya gak diteruskan ke kepolisian,” beber Gatot.
Faktanya, Gatot sendiri pernah mengalami penahanan karena tidak mengikuti anjuran pemerintah saat Orde Baru untuk menanam jenis padi dan menggunakan pupuk tertentu. “Saya dikerangkeng Pak, karena tidak nurut untuk nanam padi PB 5, UREA TSP, dan paket pestisidanya,” ujarnya.
Hal itu diamini oleh saksi lainnya, Setyarman. Menurutnya, banyak terjadi penangkapan kepada para petani disekitar wilayahnya. “Undang-undang ini jelas tidak berpihak kepada petani. Tapi justru berpihak kepada para pengusaha,” tegasnya.
Padahal, menurut mereka, para petani di Indonesia sanggup dan mampu melakukan pemuliaan benih secara mandiri. Hasilnya, tidak kalah dengan benih impor. “Kalo benih lokal tidak ditanam oleh petani di Indonesia, siapa lagi yang melestarikan,” ungkap Gatot. Sedangkan menurut Setyarman, petani seringkali dicekoki paket dari pemerintah yang sangat tidak menguntungkan petani.
Pandangan para saksi tersebut dibenarkan oleh ahli Dwi Andrias Santoso. Menurutnya, petani memiliki hak, yakni bebas menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaanya. Meskipun disatu sisi, Pemerintah berwenang untuk memfasilitasi para petani, namun hanya dalam kapasitas membuat rancangan dengan memperhatikan kebutuhan petani. “Dan petani dalam kondisi tertentu, mesti mengikuti planing yang dirancang oleh negara,” paparnya. Pada intinya, petani dan pengusaha berhak mendapatkan benih yang bermutu.
Pemuliaan benih oleh petani kecil, menurut Dwi, juga sudah memenuhi semua persyaratan ilmiah yang ada. Baik yang ajarkan di perguruan-perguruan tinggi, dilakukan di lembaga-lembaga penelitian, maupun oleh perusahaan. “Kalau kita bandingkan hasil dan kecepatan pemuliaan tanaman yang dilakukan petani ini 23,6 kali lipat dibandingkan dengan gabungan pemuliaan oleh peneliti dan perusahaan,” imbuhnya.
Dia berpandangan, bahwa tidak benar jika petani kecil dibiarkan melakukan pemuliaan, memproduksi, mengedarkan, dan memasarkan benih akan menggangu swasembada pangan. “Justru yang terjadi sebaliknya. Indonesia akan semakin kuat dan tangguh di bidang pangan. Adopsi hak petani akan menyelamatkan masa depan pertanian dan pangan kita.“
Oleh karena itu, dia berkesimpulan, sudah seharusnyalah UU terkait pertanian perlu mengadopsi hak-hak petani, yakni pertama, hak untuk melakukan pemuliaan tanaman atau hewan. Kedua, hak untuk mengembangkan benih dari berbagai sumber, baik publik maupun swasta. Ketiga, hak untuk menyimpan benih. Keempat, hak untuk memasarkan benih.
Sementara itu, ahli Edi Martono, mengungkapkan bahwa dalam proses pembentukannya, UU tersebut sangat minim melibatkan petani. Padahal, petani merupakan stakeholders utama dalam pembentukan UU terkait pertanian. “Petani adalah pemangku kepentingan paling utama. Sehingga petani harus didengar dalam pembentukan perundang-undnagannya. Harus terakomodir dalam UU,” tuturnya.
Selain itu, menurutnya, secara ilmiah, belum terdapat bukti bahwa benih hasil rekayasa petani memiliki efek negatif. Terutama yang menyebabkan hama penyakit atau OPT (Organisme Perusak Tanaman).
Sebelumnya, Pemohon dalam perkara ini menguji Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d; Pasal 6, Pasal 9 ayat (3) sepanjang kata “perorangan”; Pasal 12 ayat (1), ayat (2); Pasal 60 ayat (1) huruf a, huruf b, ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. (Dodi/mh)