Debbi Agustio Pratama yang mengajukan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) harus menerima kenyataan bahwa permohonannya ditolak untuk seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Amar putusan Pengujian Undang-Undang (PUU) dengan perkara Nomor 29/PUU-X/2012 tersebut dibacakan langsung oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dalam sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno, Rabu (3/1).
Pada Maret 2012, Debbi seorang mahasiswa Universitas Andalas mewakili komunitas anak punk di Padang, Sumatera Barat mengajukan pengujian Pasal 505 KUHP ke MK. Debbi meminta MK menyatakan Pasal 505 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berikut segala akibat hukumnya terkait dengan kriminalisasi terhadap gelandangan.
Pasal 505 KUHP yang dipermasalahkan Debbi berbunyi, “(1) Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan; (2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.”
Pasal 505 KUHP itu menurut Debbi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Pasalnya, pengertian gelandangan menurut kamus bahasa Indonesia adalah orang yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya. Menurut Debbi, hal tersebut tidak dapat diartikan bahwa seorang gelandangan adalah pelaku perbuatan kriminal. “Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai kriminal jika tidak ada kehendak jahat di dalamnya dan pada hakikatnya menjadi gelandangan tidak dapat dikategorikan melakukan perbuatan melawan hukum. Jadi, menjadi seorang gelandangan tidak dapat diancam dengan pidana kurungan sebagimana diatur dalam Pasal 505 KUHP itu,” jelas Debbi saat itu.
Namun dalil Pemohon oleh MK dipandang tidak beralasan menurut hukum. Dalam pertimbangan hukum MK dinyatakan bahwa UUD 1945 mengatur kebebasan namun bukan kebebasan yang tanpa batas. Dalam UUD 1945 juga dinyatakan bahwa negara bertanggung jawab melaksanakan ketertiban umum. Dengan kata lain, negara berwenang mengatur hal-hal yang boleh dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat, yang salah satunya diwujudkan dengan pembentukan hukum pidana. Untuk menjamin ketertiban umum ini maka kebebasan individu dibatasi. Kebebasan bagi seseorang atau segelintir orang tidak boleh melanggar kebebasan orang lain.
Mahkamah juga mempertimbangkan pengertian gelandangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mendefinisikan bergelandangan sebagai kegiatan berjalan ke sana-sini tidak tentu tujuannya, berkeliaran (untuk orang); bertualangan. Sesuai definisi tersebut, KUHP mengategorikan perilaku tersebut dapat mengganggu ketertiban umum.
Sedangkan masyarakat dalam komunitas punk sebagai gaya hidup memang tidak dilarang. Sedangkan obyek yang dilarang oleh Pasal 505 KUHP adalah hidup bergelandangan. Sebab, bergelandangan merupakan suatu perbuatan yang melanggar ketertiban umum sehingga negara memang sudah sepatutnya mengatur pembatasan dalam hal bergelandangan. Dengan kata lain, Pasal 505 KUHP harus dipandang sebagai batasan kebebasan yang diberikan oleh negara yang bertujuan untuk menjaga ketertiban umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. (Yusti Nurul Agustin/mh)