Permohonan seorang tersangka kasus korupsi Djailudin Kaisupy dalam pengujian Undang-Undang No. 16/2004 tentang Kejaksaan RI, yakni Pasal 30 ayat (1) huruf d, dan penjelasannya, oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dinyatakan tidak dapat diterima. “Amar putusan, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” tegas Moh. Mahfud MD selaku Ketua Sidang Pleno dalam pembacaan putusan perkara No. 2/PUU-X/2012, Kamis (3/1).
Dalam pendapatnya, Mahkamah mengatakan bahwa meskipun petitum dalam permohonan yang diajukan ini berbeda dengan perkara nomor 16/PUU-X/2012 bertanggal 23 Oktober 2012, namun esensi permohonan Pemohon ini yang pada pokoknya mempersoalkan konstitusionalitas kewenangan jaksa sebagai penyidik adalah sama dengan permohonan Pemohon yang telah diputus oleh Mahkamah dengan Putusan Nomor 16/PUU-X/2012.
“Permohonan a quo setelah diperiksa secara saksama ternyata tidak didasarkan pada syarat-syarat konstitusionalitas alasan yang berbeda dari permohonan nomor 16/PUU-X/2012,” terang Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan putusan tersebut.
Selain itu, Mahkamah melanjutkan, alasan-alasan permohonan Pemohon telah pula dipertimbangkan dalam putusan perkara nomor 16/PUU-X/2012, bertanggal 23 Oktober 2012 tersebut, sehingga permohonan Pemohon ne bis in idem. “Oleh karena itu, pokok permohonan Pemohon ne bis in idem,” terang Mahfud MD.
Putusan tersebut, kata Mahkamah, juga berdasarkan pemeriksaan dengan saksama kepada permohonan Pemohon lainnya, keterangan pemerintah, keterangan DPR, keterangan ahli Pemerintah, dan bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, sebagaimana termuat pada bagian duduk perkara dalam persidangan.
Perlu diketahui, UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 30 ayat (1) huruf d, menyatakan “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.” Selanjutnya, penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d, menyatakan, “Kewewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Pada pokoknya Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas yang ada dalam ketentuan undang-undang tersebut. Dalam hal ini, Pemohon mendalilkan jika tindak pidana korupsi ditangani oleh jaksa hasilnya tidak akan maksimal karena jaksa tidak memiliki keahlian dan pendidikan khusus sebagai penyidik, sehingga dalam pelaksanaan kewenangannya tidak mempertimbangkan bukti permulaan.
Kemudian, kata Pemohon, jika pemeriksaan dilakukan oleh satu orang yang sama dimana dia bertindak sebagai Penyidik dan juga sebagai Penuntut Umum, maka hasilnya tidak berorientasi pada penegakan supremasi hukum (supremacy of law) dan juga tidak berorientasi pada keadilan, melainkan pada kekuasaan yang sewenang-wenang. (Shohibul Umam/mh)