Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian permohon Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 5/2011 tentang Akuntan Publik (UU Akuntan Publik) - Perkara No. 84/ PUU-IX/2011 - pada Kamis (3/1) sore di Ruang Sidang Pleno MK. Pemohon adalah M. Achsin, Anton Silalahi, Yanuar Mulyana, Rahmat Zuhdi, dan Zainudin.
Pasal 55 dan Pasal 56 UU Akuntan Publik, menurut Pemohon, memuat ancaman pidana yang di dalamnya terdapat kata “manipulasi” sehingga menimbulkan permasalahan konstitusionalitas bagi para Pemohon sebagai profesional dalam bidang akuntan publik, yakni pembatasan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan dan kesejahteraan, ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Terhadap permasalahan tersebut, menurut Mahkamah dalam putusannya, sesuai dengan pengertiannya dalam perspektif bahasa, kata “manipulasi” memang telah nyata-nyata menimbulkan ambiguitas. Bahwa dalam membuat opininya, akuntan selalu melakukan “manipulasi” terhadap data yang diperolehnya untuk diolah, supaya dapat disajikan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Hal demikian merupakan pengertian yang tidak dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan yang jahat.
“Sehingga, adanya kata ‘manipulasi’ juga menimbulkan dilema bagi akuntan. Karena pada satu sisi, akuntan dituntut untuk menyajikan data yang baik dengan melalui cara memanipulasi. Namun di sisi lain, menurut Pasal 55 UU Akuntan Publik, manipulasi merupakan unsur tindak pidana. Oleh karena itu kata “manipulasi” dalam Pasal 55 UU Akuntan Publik menimbulkan permasalahan konstitusionalitas sebagaimana tersebut di atas,” papar Majelis Hakim.
Berdasarkan uraian tersebut, menurut Mahkamah, kata “manipulasi” sepanjang dilakukan berdasarkan standar profesi akuntan adalah perbuatan yang legal. Kata “manipulasi” dalam Pasal 55 yang juga berlaku dalam Pasal 56 UU Akuntan Publik harus dimaknai sebagai perbuatan yang didasari dengan niat jahat untuk mencari keuntungan bagi dirinya ataupun pihak lain secara melawan hukum berdasarkan alat bukti permulaan yang cukup. Pasal yang mengandung rumusan
yang demikian dapat dibenarkan secara konstitusional apabila dibaca dengan syarat-syarat tersebut, karena tugas dan fungsi akuntan publik, dalam pelaksanaannya dilakukan oleh seorang akuntan.
“Manipulasi yang dilakukan oleh seorang akuntan berdasarkan standar profesi harus diartikan berbeda dengan pengertian yang terdapat di dalam hukum pidana. Kedua pengertian yang berbeda dari suatu kata di dalam peraturan perundang-undangan adalah merupakan hal yang dimungkinkan sebagaimana disebutkan dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ungkap Majelis Hakim.
Oleh karena itu Pasal 55 dan Pasal 56 UU Akuntan Publik yang di dalamnya terdapat kata “manipulasi” harus dibaca dengan makna sebagai perbuatan yang jahat dalam rangka perlindungan bagi masyarakat, atau bahkan bagi profesi akuntan publik sendiri, dari perilaku jahat seorang akuntan publik.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil-dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tegas Ketua Pleno Moh. Mahfud MD yang didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Dissenting Opinion
Dalam persidangan, salah seorang Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Maria berpendapat bahwa UU Akuntan Publik adalah undang-undang yang mengatur tentang suatu kelembagaan atau organisasi profesi, sehingga tidak tepat jika di dalamnya mengatur pula tentang ketentuan sanksi pidana. Sebagai suatu peraturan organisatoris, seharusnya pelanggaran terhadap peraturan tersebut diselesaikan secara organisatoris pula, sesuai dengan kode etik dari organisasi yang bersangkutan. (Nano Tresna Arfana/mh)