Hak beragama sebaiknya dibaca sebagai hak untuk memeluk agama dan kepercayaan yang diyakini benar sepanjang tidak mengganggu hak beragama dan kepercayaan orang lain, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Hal ini diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati ketika menjadi keynote speaker dalam “Dialog Publik dalam Rangka Peringatan Hari Ibu Nasional 2012” pada Kamis (20/12) di Aula MK. Dialog publik yang diselenggarakan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengangkat tema “Pesan Ibu Nusantara bagi Arah Kebangsaan Indonesia Akui Dan Penuhi Hak-Hak Konstitusional Peluk Agama Leluhur dan Penghayat Kepercayaan”.
“Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun sebagaimana tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 termasuk dalam hal keyakinan seseorang. Kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan merupakan kebebasan berekspresi. Setiap orang yang memeluk agama dan kepercayaan memiliki interpretasi masing-masing dalam menilai setiap agama dan kepercayaan yang ada. Perbedaan yang ada sebaiknya disikapi dengan penuh toleransi, tidak dengan larangan berekspresi yakni adanya diskriminasi. Kebebasan setiap individu dalam menjalankan ajaran agamanya tidak boleh berdampak terhadap kebebasan orang lain, terutama kebebasan dalam berekspresi. Perbedaan bukan sebagai tantangan, hambatan, gangguan, bahkan ancaman yang dapat menimbulkan konflik dalam kehidupan manusia,” papar Maria.
Dalam hal ini, lanjut Maria, negara memiliki peran sebagai penyeimbang antara hak asasi dan kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM yang berkeadilan. Selain itu, negara memiliki peran untuk memastikan bahwa dalam pelaksanaan kebebasan beragama seseorang tidak melukai kebebasan beragama orang lain. Di sinilah negara akan mewujudkan tujuannya yakni untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (the best life possible). “Beragama dalam pengertian meyakini suatu agama tertentu merupakan ranah forum internum, merupakan kebebasan, merupakan hak asasi manusia yang perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah,” urai Maria.
Maria menjelaskan hak beragama sebagai hak individu adalah hak asasi yang melekat dalam setiap diri manusia semenjak ia lahir. Namun, sambung Maria, dalam konteks berbangsa dan bernegara, hak beragama juga telah menjadi sebuah hak kolektif masyarakat untuk dapat dengan tenteram dan aman menjalankan ajaran agamanya tanpa merasa terganggu dari pihak lain. Oleh karena itu, beragama dalam konteks hak asasi individu tidak dapat dipisahkan dari hak beragama dalam konteks hak asasi komunal. “Adanya organisasi-organisasi keagamaan yang telah berurat berakar dan memiliki landasan sejarah sebagai organisasi induk dari agama-agama yang diakui di Indonesia. Organisasi keagamaan induk inilah yang pada akhirnya mampu menjadi mitra negara dalam menciptakan ketertiban masyarakat beragama untuk saling menghargai dan bertoleransi,” paparnya.
Menurut Maria, pembenahan terhadap dimensi HAM dalam regulasi sangat penting sehingga ada kejelasan dan ketegasan terhadap garis konsepsi dan ideologi perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pembentukan peraturan yang melindungi dan menjamin hak-hak para penganut agama dan penghayat kepercayaan yang dapat tetap menjunjung keberagaman dan kebhinnekaan menjadi tugas bersama.
“Oleh karena itu, perlu dilakukan dialog antar umat beragama dan penghayat kepercayaan secara rutin melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat, serta membina sebaik-baiknya pembangunan rumah-rumah ibadah dan lembaga-lembaga keagamaan dan kepercayaan. Serta memperkuat Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan semboyan pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, etnis, budaya, dan agama yang ada di Indonesia,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)