Ada beberapa lembaga yang tidak diperbolehkan membuat peraturan perundang-undangan sendiri karena peraturan yang dibuat mengikat secara ‘diri’ mereka sendiri dan tidak terkait dengan kepentingan rakyat. Lembaga tersebut, di antaranya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, serta Komisi Yudisial.
Hal ini dikemukakan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati ketika memberikan kuliah umum di hadapan sejumlah Mahasiswa Pascasarjana UI pada Selasa (18/12) di Ruang Konferensi MK. Dalam kesempatan itu, selain membahas mengenai MK, Maria juga membahas mengenai UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Gubernur, walikota atau bupati dapat membuat peraturan perundang-undangan, namun tanpa memberikan sanksi pidana. Peraturan yang dibuat harus bersifat administratif. Misalnya saja, peraturan mengenai pengaturan sistem ganjil-genap yang akan diterapkan oleh Gubernur DKI Jakarta Jokowi. Dia bisa membuat peraturan gubernur, namun tidak bisa menggunakan sanksi tilang," papar Maria.
Disinggung mengenai peraturan yang dibuat oleh lembaga tertentu, Maria mengungkapkan peraturan tersebut hanya bisa untuk mengikat lembaga itu sendiri. Maria mencontohkan Peraturan MK yang dibuat untuk mengatur hukum beracara di MK. "Sama halnya jika DPR, MPR, KY maupun MA membuat peraturan, maka lebih bersifat untuk mengatur ke dalam. Namun terkadang ada pula pendelegasian UU yang diatur oleh Peraturan Menteri, padahal seharusnya diatur dalam Peraturan Presiden. Peraturan Menteri hanya bisa digunakan untuk mengatur kementerian dari dalam, tidak untuk mengikat keluar (baca: rakyat)," ungkapnya.
Hal tersebut, lanjut Maria, seharusnya berlaku hanya untuk sistem parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. "Sementara kita menganut sistem presidensiil, harusnya diatur dalam peraturan presiden," ujarnya.
Sementara mengenai MK, Maria menjelaskan sekarang MK sudah bisa menguji seluruh undang-undang baik yang dibentuk sebelum perubahan UUD1945 maupun sesudah perubahan UUD1945. "Kalau saat itu saya sudah menjadi hakim konstitusi, saya pasti mengajukan dissenting opinion. Seharusnya UU sebelum perubahan UUD1945 dan merupakan peninggalan Belanda diganti dengan yang baru, seperti KUHAP," tuturnya.
Dalam kesempatan tersebut, Maria juga memaparkan mengenai kewenangan dan kewajiban yang dimiliki MK. Tak hanya itu, Maria juga memaparkan mengenai proses beracara ke MK. (Lulu Anjarsari/mh)