Hukum selalu di presepsikan sebagai suatu aturan yang memberikan hak yang sama pada semua orang. Namun apabila berbicara undang-undang mengenai kehutanan tidak mustahil ada beberapa pasal-pasal yang di hilangkan atau di jual guna kepentingan golongan atau pribadi. Berbicara undang-undang, khususnya undang-undang mengenai kehutanan, kita harus tahu, siapa yang akan bertarung dalam kepentingan undang-undang itu.
Hal demikian sepenggal kalimat yang di ucapkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Bapak Achmad Sodiki sebagai pembicara pada sesi ke II dalam acara Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional VI yang diselenggarakan di Auditorium Andi Hakim Nasution Institut Pertanian Bogor, Kampus Dramaga Bogor, Sabtu (15/12). Acara ini di moderatori oleh Brahmanto MS bersama pembicara lain yang dihadiri oleh para mahasiswa Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Menurut Sodiki, jika kita berbicara Undang-Undang Kehutanan, akan ada kepentingan-kepentingan yang berbenturan. Kepentingan yang mempunya izin atau kepentingan orang yang sudah ada di situ sebelum ada izin. “Banyak peristiwa menunjukan bahwa orang yang sudah ada di situ sebelum Indonesia merdeka yang sehari-hari keluar masuk hutan tiba-tiba dilarang dan tidak dapat lagi memasuki area hutan. Masyarakat hukum adat yang sudah turun temurun ada di situ, tiba-tiba distop karena ada izin dari atas yang baru turun dan menyatakan tidak di perbolehkan lagi mengambil sesuatu dari dalam hutan itu,” jelas Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang
Pembicara lainnya dalam Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional VI adalah dari Cifor Scientific, Herry Purnomo, Director Of Multistakeholder Forestry Programme Diah Raharjo, Direktur Utama Perum Perhutani Bambang Sukmanto, dan Dewan Kehutanan Nasional Hariadi Kartodiharjo.
Dalam kalimat penutupnya, Sodiki mengungkapkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengenai kehutanan itu menguntungkan banyak pihak dan tidak menguntungkan sebagian atau salah satu pihak. Semua putusan MK sifatnya “prospektif”, begitu di keluarkan langsung mengikat. Mengikat ke masa depan bukan mengikat ke masa lalu, sebab jika mengikat ke belakang maka akan menghilangkan kepastian hukum. (Edhoy/mh)