Sidang lanjutan pengujan terhadap No.8/1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa dikenal dengan KUHAP kembali digelar MK pada Jumat (14/12) di Gedung MK. Dua permohonan yang diajukan oleh dua Pemohon berbeda diregistrasi Kepaniteraan MK dalam dua nomor berbeda, yakni No. 114/PUU-X/2012 dan 115/PUU-X/2012. Para pemohon, yakni Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, Prov. Sumatera Barat, Ismail beserta Idrus.
Dalam sidang pemeriksaan permohonan yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim, Para pemohon telah melakukan perbaikan sesuai dengan saran yang diberikan oleh Majelis Hakim Konstitusi. Idrus, tanpa diwakili oleh kuasa hukumnya, mengungkapkan sudah memperbaiki kedudukan hukumnya. “Saya jelaskan masalah dasar-dasar kedudukan hukum saya, yaitu hanya menjelaskan pada permohonan pertama hanya menjelaskan kata-kata tanpa ada alasan-alasanya. Jadi di sini saya sudah jelaskan. Kemudian yang ketiga bahwa penuntut umum kemudian mengartikan bahwa jika bebas itu bukan bebas murni oleh kasasi. Yang keempat bahwa dengan demikian, menurut Pasal 244 telah menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon dan bahwa ketidakpastian ini telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana yang ditentukan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Nah, petitumnya ada yang saya rombak, nomor 1 tetap, nomor 2 tambahkan bahwa menyatakan bahwa frasa bebas pada Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP adalah bebas murni atau juga termasuk bebas tidak murni. Yang ketiga, menyatakan bahwa frasa kecuali terhadap putusan bebas pada Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP adalah tidak bermakna dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” urainya.
Sementara itu, A. Wirawan Adnan selaku kuasa hukum Ismail juga telah memperbaiki kedudukan hukum Pemohon. Selain itu, lanjut Wirawan, ia juga memperbaiki petitum sesuai saran Majelis Hakim Konstitusi. “Yang kedua, Mahkamah berpendapat bahwa antara petitum nomor 2 dan 3 kontradiktif begitu, hal ini pun kami terima sarannya dari MK, sehingga petitum telah kami ubah sesuai dengan saran MK. Demikian juga bagian posita yang berhubungan dengan petitum, telah kami ubah agar bunyinya bersesuaian atau konsisten dengan bunyi petitum itu. Yang ketiga bahwa MK berpendapat bahwa bunyi petitum alternatif dari Pemohon menimbulkan kesan bahwa Pemohon memohon kepada MK agar melarang jaksa penuntut umum untuk kasasi. Bahwa atas dasar pendapat dan saran MK seperti ini, maka Pemohon telah mengubah bunyi petitum alternatifnya sebagaimana yang telah kami sampaikan di dalam permohonan perubahan,” paparnya.
Majelis Hakim Konstitusi yang juga dihadiri oleh Wakil Konstitusi Achmad Sodiki dan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva mengesahkan alat bukti yang diajukan oleh Para pemohon.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa Pasal 244 KUHAP merupakan pasal yang ambigu, dan pasal yang multitafsir, karena jaksa dalam kenyataan kasasi mengartikan kata bebas adalah bebas murni dan bebas tidak murni. Ketentuan Pasal 244 UU tersebut menyebutkan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Menurut Ismail selaku Pemohon, frasa …kecuali terhadap putusan bebas… adalah sumber ketidakpastian hukum. Jika dihilangkan, kata dia, maka akan menimbulkan kepastian bagi masyarakat Indonesia. (Lulu Anjarsari/mh)