Ketua Mahkamah Agung Korea Selatan Yang Sung Tae beserta staf mengunjungi Mahkamah Konstitusi RI pada Kamis (13/12). Dalam kesempatan itu, Yang Sung Tae diterima langsung oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki serta tiga hakim konstitusi lainnya.
Dalam kesempatan itu, Yang Sung Tae mengungkapkan ada banyak kemiripan antara MK Korea Selatan dan MK RI. Kemiripan tersebut di antaranya Sembilan hakim yang dimiliki oleh MK Korea Selatan yang terbentuk pada 1988. “Ketua MK Korea Selatan diangkat oleh Presiden dan memiliki posisi sejajar dengan Ketua MA, maka hakim MK juga sama dengan hakim MA,” ujarnya.
Menyambung hal tersebut, Mahfud mengungkapkan MK RI juga memiliki 9 hakim yang dipilih oleh DPR, Presiden dan MA. Diakui Mahfud bahwa MK Korea Selatan dan MK RI memiliki kesamaan historis dan prestasi. Secara historis, lanjut Mahfud, MK RI banyak mempelajari dari MK Korea Selatan. “MK Korea Selatan dan MK RI memotori keberadaan MK Asia yang tempatnya berada di Jakarta, Indonesia dan Seoul, Korea Selatan. Dan berdasarkan buku terbitan Harvard University, MK RI dan MK Korea Selatan termasuk ke dalam Mahkamah Konstitusi paling efektif di dunia,” paparnya.
Kemudian, Yang Sung Tae juga memaparkan perbedaan antara MK Korea Selatan dengan MK RI. Hakim konstitusi di Korea Selatan, jelas Yang Sung Tae, diharuskan memiliki lisensi sebagai pengacara. Menurut Yang Sung Tae, jarang ada hakim konstitusi yang berlatar belakang sebagai akademisi. “Sebelum terbentuknya MK, Korea Selatan memiliki komisi UUD yang memiliki fungsi yangsama dengan MK sekarang. Tetapi dengan adanya kasus politik, di mana yudisial tidak boleh ikut campur, maka diperlukan adanya MK. MK berfungsi untuk menyelesaikan kasus antar lembaga negara ataupun kasus yang bersifat politik,” jelas Yang Sung Tae.
Yang Sung Tae menanyakan cara menyikapi jika adanya perbedaan terjemahan UU antara MK dan MA di Indonesia. Mahfud menjelaskan yang berwenang dalam menafsirkan UUD dan menguji UU terhadap UUD merupakan kewenangan MK. “JIka MA sedang menguji peraturan pemerintah yang terkait dengan UU yang sedang diuji ke MK, maka MA harus menghentikan sementara. Sedangkan mengenai penafsiran konstitusi, MK mendekati berbagai penafsiran. Kami menelaah penafsiran dari berbagai sisi, diantaranya filosofis, historis, sampai kepada sistematis,” ujarnya. (Lulu Anjarsari/mh)