Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), khususnya hak untuk mendapatkan perlakuan sama di hadapan hukum. Oleh karena itu, pengujian UU di MK dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, usia, suku, agama, dan atau penganut keyakinan tertentu. Demikian ungkap Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati saat mengisi sesi Sidang HAM II di Jakarta, Rabu (12/12) siang.
“Dalam rangka perlindungan dan penegakan HAM, sesuai prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM harus diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan,” ucap Maria kepada para hadirin.
Salah satu UU yang pernah diuji MK dan langsung bersentuhan dengan hak perempuan dan hak anak yaitu Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dengan Putusan No. 46/PUU-VIII/2010. Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Menurut pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945.
“Berlakunya norma dalam pasal tersebut, menurut pemohon, merugikan hak konstitusional pemohon yaitu hilangnya hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, hilangnya hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil maupun perlakuan yang sama di hadapan hukum,” papar Maria panjang-lebar.
Dikatakan Maria lagi, menurut pemohon uji UU Perkawinan tersebut, berlakunya Pasal 43 ayat (1) menyebabkan pemohon dan anak pemohon yang lahir dari perkawinan menurut agama Islam dengan seorang pria, yang tidak tercatat secara resmi, kehilangan status sebagai istri dan anak sah secara hukum dari seorang pria tersebut dengan segala akibatnya.
Hingga akhirnya MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian terhadap UU Perkawinan tersebut. Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dianggap bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
“Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,” imbuh Maria.
Dengan demikian, lanjut Maria, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” (Nano Tresna Arfana/mh)