Semua sengketa yang masuk di persidangan terkait dengan Kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi sesungguhnya hal tersebut melatih masyarakat untuk menyelesaikan masalah secara beradab dan manusiawi. Sehingga nantinya tidak akan muncul kekerasan fisik tetapi muncul proses penyelesaian yang rasional dan demokratis melalui tertib hukum atau konstitusi.
Demikian disampaikan Wakil Ketua MK Achmad Sodiki saat menerima kunjungan/studi banding dari Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur, di Ruang Konferensi Pers, Gedung MK, Jakarta, Senin (10/12). Peserta studi banding dalam kesempatan tersebut berjumlah sekitar 37 mahasiswa, didampingi dosen pembimbing sebanyak tiga orang, dan semuanya tampak antusias mendengarkan paparan dari Waki Ketua MK tersebut.
Lebih lanjut, kata Sodiki, karena persoalan yang diperkarakan ke MK diselesaikan secara beradab maka putusan-putusan yang dikeluarkan oleh MK dinilai oleh kebanyakan orang sangatlah berbobot. “Oleh karena itu, putusan-putusan Mahkamah selain berbobot yuridis, tetapi juga berbobot sosiologis dan filosofis,” terang Guru Besar Universitas Brawijaya Malang ini.
Di hadapan rombongan studi banding yang ingin mengetahui secara langsung tugas dan kewenangan MK tersebut, Sodiki memaparkan secara gamblang seputar kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh MK selama ini. Menurutnya, mengajukan permohonan ke MK terutama terkait pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sangatlah mudah.
“Menguji itu gampang. Tinggal meminta kepada Mahkamah bahwa pasal yang bertentangan dengan UUD itu dibatalkan, dengan syarat merugikan yang bersangkutan,” urai Sodiki, saat meyakinkan kepada para mahasiswa bahwa berperkara di MK tidaklah sulit.
Sodiki pada kesempatan tersebut kemudian memberi contoh terkait perkara pengujian undang-undang. Menurutnya, ada sebagian pasal atau ketentuan yang tertuang dalam undang-undang diujikan ke MK karena dianggap merugikan pemohon. Semisal, UU tentang Ketenagakerjaan terkait pekerjaan kontrak atau outsourcing.
Menurutnya, ada pekerja pencatat meteran dalam perusahan PLN yang statusnya masih outsourcing, padahal katanya pekerjaannya tersebut dilakukan setiap tahun. Sehingga dengan sejumlah pertimbangan dalam permohonan pemohon, kata Sodiki, Mahkamah dalam putusannya mengabulkan permohonan pemohon tersebut dengan membatalkan pasal yang terkait dengan outsourcing. “Pasal yang dibolehkan pekerjaan outsourcing itu dibatalkan,” terang Sodiki.
Selain kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, menurut Sodiki, Mahkamah juga mempunyai kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Sementara kewenangan yang lain, yakni memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum juga dimiliki oleh MK.
Dan terakhir berupa kewajiban yang dimiliki oleh MK, yakni MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD. (Shohibul Umam/mh)