Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD menjadi pembicara kunci dalam Konferensi Internasional “Pluralisme vs Intolerance” yang diselenggarakan Centre for Democracy Institute (CDI) di Australian National University, Canberra, Senin, (26/11) lalu. Sambutan dan antusiasme audiens tampak terlihat ketika Mahfud menghadiri dan memberikan ceramah masalah pluralime dan intolerasi di Indonesia.
Dalam ceramahnya berjudul “Pluralisme versus Intoleransi, Tinjauan Konstitusi dan Hukum Indonesia”, Mahfud menyatakan bahwa persoalan pluralisme dan intoleransi merupakan persoalan krusial di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang sangat beragam dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda, baik agama, suku, etnis, keyakinan, aliran politk, dan sebagainya, membuat Indonesia rentan dengan masalah intoleransi. Masalah intoleransi di Indonesia berbeda dengan yang terjadi masa lalu. Dulu, faktor perbedaan suku atau etnis merupakan salah satu faktor yang paling sering memicu tindakan intoleransi. Namun belakangan, perbedaan agama dan keyakinan justru semakin mengemuka melandasi beberapa tindakan intoleransi.
Meski demikian, secara konseptual, persoalan pluralisme dan intoleransi sudah selesai. Konstitusi Indonesia yakni UUD 1945 secara absolut telah mengakui dan melindungi keberagaman masyarakat Indonesia. Selain itu, konstitusi dan hukum-hukum di Indonesia secara jelas telah menjamin kebebasan setiap warga negara untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya. Oleh karena itu menurut Mahfud, persoalan yang terjadi di Indonesia bukan pada tataran konseptual, melainkan pada tataran implementasi.
Tindakan intoleransi seperti yang terjadi pada kasus Gereja Yasmin di Bogor, Jemaah Ahmadiyah Indonesia, dan pertikaian keluarga bernuansa pertarungan Syiah dan Sunni di Sampang Madura, merupakan contoh minor yang mungkin masih membutuhkan penanganan di lapangan. Hukum-hukum negara, kata Mahfud, dikeluarkan bukan untuk melakukan diskrimininasi terhadap kelompok tertentu, melainkan memberikan perlindungan kepada kelompok tersebut. Dalam kasus Jemaah Ahmadiyah Indonesia, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri dibuat untuk melindungi ajaran Islam dari penodaan akan tetapi memberikan perlindungan kepada Jemaah Ahmadiyah dengan tidak membubarkan Ahmadiyah.
Pada intinya, Mahfud mengatakan bahwa negara berhak mengatur kebebasan beragama dengan memberikan perlindungan terhadap pemeluk-pemeluk agama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Seiring dengan itu, negara juga berhak memberikan proteksi untuk mencegah terjadinya penodaan ajaran agama tertentu. Negara hanya berhak mengatur hubungan antarumat beragama, akan tetapi negara tidak boleh mewajibkan sesuatu yang sudah diwajibkan oleh agama. Menurut Mahfud, semestinya hukum negara dibuat semaksimal mungkin dilandasi oleh nilai-nilai untuk menjaga integrasi, baik teritori maupun ideologi, sekaligus menjaga toleransi masyarakat.
Seusai memberikan ceramah kunci, Tim Lindsey, Indonesianis dari University of Melbourne, selaku moderator membuka sesi tanya jawab. Tidak kurang dari 12 pertanyaan muncul dalam beberapa sesi diskusi, termasuk salah satunya dari Sydney Jones, pengamat terorisme Indonesia yang juga hadir dalam konferensi tersebut. Mahfud mengakhiri sesi ceramah kuncinya disertai tepuk tangan meriah audiens sebagai bentuk kekaguman dengan sosok dan pemikiran Mantan Menteri Pertahanan era Presiden Gus Dur ini. Sebelum meninggalkan acara, Mahfud bertukar cinderamata dengan Dr. Stephen Sherlock.
Direktur CDI Dr. Stephen Sherlock sebelum Mahfud menyampaikan ceramahnya, mengungkapkan perasaan gembiranya karena Ketua MKRI dapat hadir dalam konferensi tersebut. Menurut Stephen, kehadiran Ketua MKRI merupakan kesempatan yang langka, sehingga berkali-kali dirinya mengucapkan terima kasih. Menurut Stpehen, dirinya merasa perlu mengundang tokoh Indonesia sekaliber Mahfud, selain kiprah dan keberhasilannnya memimpin MK selama hampir lima tahun ini, pemikiran Mahfud tentang pluralisme dianggap sangat menarik.
Berkunjung ke the High Court of Australia
Seusai acara, Mahfud berkunjung ke the High Court of Australia. Ketua MKRI disambut secaar langsung dan hangat oleh Chief Justice Robert Shenton French. Pertemuan informal tersebut dimanfaatkan kedua pemimpin lembaga peradilan ini untuk saling bertukar informasi mengenai kewenangan masing-masing lembaga, termasuk mendiskusikan penegakan hukum di masing-masing negaranya. Kepada Mahfud, Justice French mengungkapkan berbagai hal mengenai sistem hukum di Australia dan kewenangan-kewenangan High Court of Australia. (FLS/mh)