Semiloka Empat Pilar “Pendidikan Pancasila, Konstitusi dan Kewarganegaraan bagi Guru Pendidikan Kewarganegaraan Berprestasi Tingkat Nasional 2012” telah memasuki hari kedua. Total telah hadir lima narasumber sejak kemarin sore hingga Kamis (6/12). Kegiatan yang diikuti 200 guru PKn berprestasi dari seluruh Indonesia ini mengambil tempat di Ruang Nusantara IV, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta.
Bertindak sebagai narasumber sesi pertama, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Lukman Hakim Saifuddin. Pada sesi ini, Lukman menyampaikan materi Kekuasaan Eksekutif dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Namun, dalam paparanya, dia juga banyak menjelaskan tentang arti pentingnya Empat Pilar bernegara yang saat ini sedang gencar disosialisasikan oleh MPR ke segala lapisan masyarakat. Empat Pilar tersebut adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan RI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Menanggapi perdebatan yang sering muncul, ia pun menegaskan bahwa pilar yang dimaksud dalam hal ini bukanlah dalam artian tonggak saja, namun juga bisa diartikan sebagai dasar. Sehingga, meskipun dalam konsep Empat Pilar ini ada Pancasila, bukan berarti mengubah Pancasila sebagai dasar negara menjadi pilar. “Pancasila tidak bisa disamakan dengan pilar yang lainnya. Pancasila itu sebagai filosofische grondslag,” tegasnya. Menurutnya, pengertian pilar tersebut telah sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Menutup sesi, dia pun berpesan kepada seluruh peserta agar tetap memiliki keyakinan akan masa depan yang lebih baik bagi Indonesia. “Tetaplah pelihara dan rawat optimisme di tengah carut-marutnya negeri ini,” ujarnya.
Selanjutnya, pada sesi kedua, dengan narasumber Guru Besar Hukum Universitas Andalas Saldi Isra, disampaikan materi tentang Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Dalam sesi ini, Saldi banyak mengurai tentang perbedaan-perbedaan pandangan terkait kekuasaan legislatif dalam sistem ketatanegaraan kita. Bahkan menyentuh tentang pemakzulan Presiden/Wakil Presiden.
Tak hanya itu, Saldi juga memperkaya wawasan para peserta dengan menyelipkan norma dan praktik-praktik ketatanegaraan dari berbagai negara sebagai perbandingan. Salah satunya, ia mengkritisi pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah di Indonesia. Menurutnya, pengaturan penyelenggaraan pemilukada di Indonesia masih lemah dan terdapat celah untuk disalahgunakan. Misalnya, tidak adanya ketentuan tegas yang melarang kampanye terselubung melalui iklan layanan masyarakat. Karena faktanya, seringkali dimanfaatkan oleh para calon incumbent/petahana sebagai media kampanye. “Padahal, itu diambil dari anggaran daerah,” katanya.
Sebagai perbandingan, dia mengambil contoh praktik di Jepang. Dia mengatakan, di Jepang, media sosialisasi pasangan calon untuk berkampanye telah ditentukan tempatnya, dan ukurannya pun dibatasi. Sayangnya, ujar Saldi, di Indonesia masih sulit untuk melahirkan aturan-aturan tentang pemilu yang tegas, jelas, dan fair. Sebab, para anggota legislatif yang duduk, juga memiliki kepentingan dalam regulasi tentang sistem penyelenggaraan pemilu yang sedang mereka susun. “Sistem politik kita ini, jeruk makan jeruk,” tuturnya mengibaratkan.
Pada sesi ketiga, hadir sebagai narasumber Hakim Konstitusi Harjono. Pada sesi ini dipaparkan materi tentang Kekuasaan Yudikatif dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Harjono memulai penjelasannya dari sejarah hadirnya kekuasaan yudikatif dalam sistem kemasyarakatan. “Kekuasaan yudikatif itu setua umur umat manusia,” ungkapnya.
Karena pada intinya, sambung Harjono, suatu kekuasaan yudikatif itu muncul ketika terjadi konflik atau sengketa yang mesti diselesaikan dalam kehidupan sehari-hari. “Sengketa itu mesti diselesaikan, dan harus ada mekanisme penyelesaian akan sengketa itu.”
Perkembangan sistem penyelesaian sengketa (baca: kekuasaan yudikatif) mengalami perkembangan seiring dengan semakin bervariasinya sengketa yang terjadi dan hukum yang berlaku. Dulu, mungkin persoalan atau pelanggaran yang terjadi sederhana saja dan diselesaikan dengan mekanisme yang sederhana pula, namun kini, pelanggaran dan bentuk kejahatan semakin rumit, penyelesaiannya pun akhirnya semakin kompleks.
Pada prinsipnya, kata Harjono, kekuasaan kehakiman harus dilaksanakan secara merdeka. Namun, merdeka disini bukan dalam artian merdeka sebebas-bebasnya atau hakim bebas memutus semaunya saja. Melainkan, merdeka dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai hakim untuk mewujudkan keadilan. “Kemerdekaan dari kekuasaan peradilan itu adalah hak warga negara untuk mendapatkan keadilan yang merdeka,” tegasnya.
Adapun untuk sesi empat dan lima, masing-masing diisi oleh Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y. Tohari dan Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro Arif Hidayat. Adapun Hajriyanto memaparkan materi tentang Empat Pilar dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara; sedangkan Arif Hidayat menyampaikan materi tentang Revitalisasi, Reaktualisasi dan Implementasi Pancasila, serta Strategi Pengembangan Pendidikan Pancasila, Konstitusi, dan Kewarganegaraan.
Dalam penjelasannya, Hajriyanto mengungkapkan bahwa di masa sekarang ini, mengajarkan etika dan moral sangatlah penting. Sebab, pembentukan karakter generasi muda adalah yang utama. Dan, berangkat dari situlah perbaikan bangsa sebaiknya dilakukan. “Pendidikan moral lebih penting dari kepintaran,” imbuhnya.
Pernyataan tersebut ia sandarkan pada fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa banyak orang pintar yang saat ini menduduki posisi-posisi penting dan strategis malah terjerat korupsi dan perkara hukum lainnya. Di samping itu, ia menegaskan bahwa persoalan-persoalan keadilan di bangsa ini juga mesti secepatnya dituntaskan.
Sejalan dengan pendapat para narasumber lainnya, Arif Hidayat, dalam paparannya memberikan beberapa alternatif solusi dalam menghadapi berbagai persoalan kebangsaan dewasa ini. Dia berpandangan, setidaknya ada dua prasyarat yang mesti di penuhi. Pertama, kesamaan orientasi atau visi seluruh elemen bangsa. Kedua, adanya sikap saling percaya antar sendi-sendi bangsa dan negara. “Pentingnya trust antar elemen bangsa,” ucapnya.
Setelah itu, kata dia, kembali kepada komitmen landasan pendirian NKRI. Di mana di dalamnya ada tiga hal penting yang mesti diperhatikan, yakni Pancasila, Negara Hukum yang demokratis, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Untuk agenda besok harinya, Jumat ((7/12) pagi, peserta akan mendapat materi Internal Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang disampaikan oleh pihak Kemendikbud dan Kemenag. Setelah itu, para peserta akan melakukan Rapat Pleno untuk mendapatkan penjelasan dari para narasumber sebelum memasuki pembahasan pada tingkat komisi. Rencananya, peserta akan dibagi ke dalam tiga komisi yang mewakili masing-masing kategori pendidikan. (Dodi/mh)