Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk atas dasar untuk memenuhi kebutuhan hukum tata negara. Dimana saat itu, kebutuhan tersebut belum dilaksanakan dengan baik oleh peradilan yang ada sebelum era reformasi. Demikian disampaikan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD saat menjadi narasumber dalam acara Round Table Discussion di Universitas Presiden, Kamis (6/12), di Menara Batavia, Jakarta. Misalnya sebelum MK dibentuk tahun 2003, kata Mahfud, apabila ingin menjatuhkan presiden selalu lewat jalur politik tanpa melalui jalur hukum terlebih dahulu atau tanpa mengetahui secara jelas apakah presiden tersebut bersalah secara hukum atau tidak. Hal demikian telah terjadi pada era Presiden Soekarno, Soeharto, maupun Gus Dur. “Maka sekarang dibuatlah Mahkamah Konstitusi, kalau ingin menjatuhkan presiden harus melalui hukum dulu, meskipun pada akhirnya jabatan politik itu dijatuhkan melalui politik,” terang Mahfud MD di hadapan puluhan pimpinan dan penyantun Universitas Presiden, serta sejumlah pengusaha terkenal di Indonesia. Diantaranya, Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Presiden Ermaya S., Rektor Universitas Presiden Chandra Setiawan, dan Ketua Umum PB Persatuan Bulu Tangkis seluruh Indonesia sekaligus eks Panglima TNI Djoko Santoso, Wali Amanat Universitas Presiden Juwono Sudarsono. Bertemakan “Fungsi MK dan Permasalahan Hukum Menjelang Pemilu 2014 di Indonesia”, Mahfud juga menuturkan terkait keberadaan hukum dalam proses pembubaran partai politik. Dahulu, dikatakannya, tidak ada hukum yang mengatur pembubaran partai politik. Para presiden terdahulu tidak ada yang melakukan proses hukum saat membubarkan partai politik. “Oleh karena itu, kita (para pendiri bangsa) membentuk Mahkamah Konstitusi,” terangnya. Setelah MK berdiri, Mahfud mengakui bahwa kerap kali lembaga ini mendapatkan banyak pujian dari kalangan masyarakat, karena dinilai berani melakukan trobosan-trobosan, dan berani keluar, serta berani tidak terkotak-kotak dalam bunyi undang-undang yang dibuat oleh DPR RI yang kadang pasal-pasalnya dinilai tidak adil. Sebaliknya, kata Mahfud, MK juga kerapkali menerima kritikan, karena dianggap trobosan-trobosannya berlebihan. “Jadi, ada sorotan positif atau ada sorotan negatif itu adalah hal biasa,” ujar Ketua MK ini. MK Terbaik Puncaknya, ujar Mahfud, ada kritikan yang menyatakan bahwa MK telah mengambil alih kedaulatan rakyat. MK telah merubah negara hukum menjadi negaranya hakim. Namun demikian, Mahfud menilai, walaupun banyak kritikan, secara umum banyak orang mengatakan lembaga ini masih dianggap sebagai lembaga yang masih kredibel. Bahkan, katanya, salah satu media cetak di luar negeri menyatakan MK Indonesia masuk 10 besar sebagai MK terbaik di dunia. “Kami (MK Indonesia) disamakan dengan negara Jerman, Korea Selatan,” terangnya. “Ada sepuluh (MK) yang dianggap terbaiklah,” tutur Mahfud MD, yang telah menjabat sebagai ketua MK sejak tahun 2008 ini. Lebih penting lagi, kata Mahfud, kepercayaan masyarakat Indonesia dan dunia luar terhadap MK tidak lepas dari apa yang dilakukan MK selama ini. Katanya, kurang lebih MK pernah melakukan lima terobosan dalam putusanya. Diantaranya, terkait penyimpangan kewenangan dari ketentuan formal yang diberikan kepada MK. Semisal, MK dilarang memerintakan pemilihan suara ulang (PSU) dalam perkara Pemilukada, karena yang boleh hanya Komisi Pemilihan Umum. Dalam perkara Pemilukada yang masuk di persidangan, MK mengambil wewenang bahwa PSU harus dilaksanakan atas perintah MK. “(perintah ini) Tidak ada wewenang dalam undang-undang,” ucapnya. “Sebab ketentuan formal itu kalau tidak dilanggar oleh MK, maka akan terjadi kecurangan pemilu dimana-mana,” tegas Mahfud lagi. Terobosan lagi pernah juga dituangkan dalam putusan MK, kata Mahfud, lembaga tata negara ini pernah membuat putusan bersyarat. Maksudnya, Mahkamah menilai ketentuan yang tertuang dalam undang-undang sudah benar tetapi pelaksanaannya belum atau tidak adil kepada masyarakat. “Sehingga MK mengatakan ini konstitusional bersyarat, padahal di dalam undang-undang tidak dikenal,” urainya. (Shohibul Umam/mh)