“Tidak ada yang bisa melarang saya berbicara, apalagi berbicara kebenaran. Sebagai hakim, saya memang tak boleh berkomentar mengenai perkara yang ditangani MK. Tetapi soal grasi Presiden untuk Ola misalnya, karena saya tak berwenang mengadili, maka saya harus berkomentar. Kalau di Amerika, hakim itu maunya sepi-sepi saja, silakan saja. Di Indonesia saya maunya ramai-ramai, kan tidak ada masalah sepanjang tidak melanggar hukum dan kode etik.”
Demikian jawaban Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD secara spontan dan lugas atas pertanyaan mahasiswa Indonesia di Canberra yang dimoderatori oleh Widi, salah satu staf KBRI, Minggu sore (25/11). Mahfud bertatap muka dengan staf KBRI, mahasiswa, dan masyarakat Indonesia yang berada di Canberra dan sekitarnya atas undangan Duta Besar RI untuk Australia Najib Riephat Kesuma. Kedatangannya ke Australia ini bagian dari kunjungannya selama lima hari memenuhi undangan Australian National University, Canberra.
Acara tatap muka dI KBRI ini dihadiri kurang lebih 100 orang yang terdiri dari masyarakat dan mahasiswa Indonesia yang sedang studi di universitas-universitas di Canberra dan sekitarnya. Pihak KBRI sengaja mengundang masyarakat dan mahasiswa Indonesia untuk bertatap muka langsung dengan Ketua MK ini. Mahfud sebelumnya menyempatkan singgah ke Konsulat Jenderal RI di Sydney dan berdiskusi dengan mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Sydney.
Najib dalam sambutannya mengatakan bahwa dirinya sangat percaya kehadiran tokoh seperti Mahfud di Canberra harus dioptimalkan. “Kehadiran Pak Mahud di Canberra tentu merupakan kehormatan bagi kami. Untuk itu, saya minta kepada semua yang hadir untuk bisa memanfaatkan kesempatan tatap muka ini. Dari Pak Mahfud kita bisa mendapatkan dan belajar banyak hal, termasuk jawaban atau tanggapan Pak Mahfud mengenai isu-isu tentang Indonesia yang belakangan berkembang di Australia,” kata Najib.
Negara Hukum
Memulai pemaparannya, Mahfud menjelaskan seputar keberadaan, peran, dan kontribusi MK dalam membangun sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis. Pentingnya kehadiran MK, Mahfud banyak mengemukakan sejarah Indonesia masa lalu yang pernah memiliki era demokrasi yang sangat baik dengan pemimpin-pemimpin berintegritas dan tidak gampang ditawari iming-iming materi. Namun, di masa lalu itu pula, banyak peristiwa yang menunjukkan betapa politik itu memang sejak lama dijadikan panglima mengalahkan hukum. “Pembubaran Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) merupakan salah satu contoh betapa politik bermain sangat dominan ketimbang hukum,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta ini.
Saat itu, kata Mahfud, Presiden Soekarno memanggil Ketua Mahkamah Agung saat itu, Wirjono Prodjodikoro, untuk dimintai pertimbangan sekaligus memberikan argumentasi hukum atas keinginannya untuk menangkap pemimpin Masyumi, seperti M. Natsir, dan tokoh PSI , Soemitro Jojohadikoesoemo, lalu membubarkan kedua partai. “Pembubaran kedua partai itu dilandasi oleh kepentingan politik, bukan karena alasan hukum,” jelas Mahfud panjang lebar. Oleh karena itu, hal seperti itu tak boleh terjadi lagi. Indonesia adalah negara hukum sehingga pembubaran partai politik sekarang ini haruslah melalui pengadilan di MK,” tegasnya. Demikian pula soal impeachment, yang isunya juga ramai diperbincangkan, Mahfud memberikan tafsir mengenai pasal impeachment dalam UUD 1945.
Mahfud juga mengisahkan bahwa dirinya orang yang sangat tidak setuju dengan studi banding yang dilakukan oleh anggota DPR ketika hendak menyusun suatu UU. “Dulu sewaktu saya masih menjadi anggota DPR dan memimpin Pansus RUU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, saya paling anti studi banding,” jelas Mahfud. “Sangat mungkin, UU LPSK yang sekarang berlaku inilah satu-satunya UU yang tidak ada studi bandingnya, karena saya tak setuju,” sergah Mahfud. Kalau ingin mengetahui UU semacam itu di luar negeri, kata Mahfud, bisa memanggil ahli atau praktisi dari negara yang dibutuhkan kemudian diminta presentasi di sini dan tidak perlu dengan ramai-ramai studi banding. Namun, kata Mahfud, justru ketika acara mendengarkan presentasi dari ahli dari negara yang dimaksud, anggota DPR yang getol studi banding justru tak datang. (FLS/mh)