Dalam kunjungan kerja ke Australia selama lima hari untuk menghadiri undangan dari Australian National University, Canberra, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD menyempatkan diri singgah ke Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Sydney memenuhi undangan pihak KJRI. Tiba di gedung KJRI di Maroubra Road, Sabtu siang, Mahfud didampingi pejabat Konsulat Jenderal RI di Sydney, yang sebelumnya turut menjemput langsung kedatangannya di Bandara Kingsford Smith, disambut mahasiswa dan masyarakat Indonesia.
Bertempat di Aula KJRI, Mahfud berdiskusi dengan mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Sydney. Dalam kesempatan itu, Konjen RI mengaku sangat senang dengan kedatangan Ketua MK ini. “Pak Mahfud sebagai Ketua MK adalah tokoh nasional yang dikenal berani dan bersih dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, kita mendapatkan kesempatan sangat baik bertatap muka dengan Pak Mahfud. Silahkan nanti teman-teman mahasiswa bertanya sebanyak mungkin kepada Pak Mahfud, isu apa saja, mumpung ketemu,” kata Konjen RI Sydney dengan sumringah.
Dalam acara itu, sekitar 60 orang masyarakat Indonesia dari Sydney dan sekitarnya hadir dengan rata-rata antusias. I Made Andi Arsana, mahasiswa program doktor University of Wollongong didaulat menjadi moderator memandu diskusi. Dalam pemaparan pendahuluan, Mantan Menteri Pertahanan era Presiden Gus Dur ini banyak menyoroti soal kondisi aktual Indonesia yang dalam beberapa hal cukup memprihatinkan. Isu-isu sosial, politik, budaya, dan terutama mengenai kasus-kasus yang tengah berlangsung dipaparkan dengan lugas.
Apa yang terjadi di Indonesia, kata Mahfud, tidak dapat ditutup-tutupi, karena ini era transparansi dan kemajuan informasi. Orang tidak bisa lagi berbohong karena semuanya bisa dimonitor dari berbagai penjuru dunia melalui internet. “Oleh karena itu, tidak ada yang perlu dirahasiakan, terlebih yang ada disini adalah orang-orang Indonesia yang memang seharusnya tahu karena ikut bertanggungjawab memikirkan solusi bagi problem bangsa,” jelasnya.
Mengenai demokrasi di Indonesia, Mahfud mengatakan demokrasi yang sesungguhnya belum tercapai. “Soal demokrasi kita, sekarang ini tidak benar-benar demokrasi. Karena, demokrasi yang seharusnya dari, oleh, dan untuk rakyat telah nyata-nyata bergeser menjadi dari rakyat, oleh dan untuk elit penguasa. Inilah potret buram demokrasi Indonesia saat ini,” ungkap Mahfud.
Optimis dan Bangkit
Meskipun sekarang dilanda berbagai persoalan, Mahfud meyakinkan bahwa di balik kelemahan yang ada sekarang, bangsa Indonesia diyakini mampu bangkit. Indonesia akan mampu bangkit menjadi besar kembali seperti dulu pada zaman Bung Karno. Zaman itu, Indonesia dikenal hebat, dan bahkan menjadi inspirasi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika untuk bangkit dan maju. Indonesia sangat menojol dalam percaturan politik bangsa-bangsa di kala itu. Untuk itu, pada kesempatan tersebut, Mahfud mengajak warga bangsa untuk optimis dan tidak terlarut dalam keputusasaan, apalagi menyesali keadaan ini.
“Setidaknya kita punya modal untuk bangkit. Pertama, kita punya ideologi Pancasila. Kedua, perekonomian kita relatif stabil, bahkan menurut McKinsey, Indoensia di tahun 2030 ekonominya akan masuk 7 besar dunia. Ketiga, modal kehidupan sosial yang kuat. Kita memiliki kekompakan luar biasa, misalnya ketika terjadi bencana di Aceh dan Yogyakarta. Masyarakat Indonesia sontak mengulurkan tangan memberikan bantuan tanpa perlu menanyakan agama, etnis, atau latar belakang apapun. Kekompakan itupun tercermin dalam kehidupan politik ketika Pemilu 1999 bisa dilaksanakan dengan baik dan demokratis, meski partai politik peserta Pemilu yang jumlahnya puluhan. Mulanya orang menduga, pasca Pemilu itu akan muncul kekacauan politik. Tapi nyatanya, itu tak terbukti. Banyak pertikaian, tetapi umumnya yang bertikai adalah elit politiknya saja,”, urai Mahfud. “Jika semua itu dirajut, pastinya bangsa ini bisa bangkit untuk menjadi besar kembali,” lanjutnya dengan optimis.
Menanggapi problem kompleks yang dialami bangsa indonesia, Mahfud mengemukakan dua kunci solusi mengatasinya. Pertama, untuk mengatasi krisis demokrasi, terutama agar demokrasi tidak bermakna dari rakyat, oleh elit, dan untuk penguasa, diperlukan rekrutmen politik yang lebih bersih, fair, dan transparan. Hal ini, lanjut Mahfud, menjadi keniscayaan mengingat kebobrokan politik Indonesia bermula dari rekrutmen poltik yang oligarkis bahkan polyarkis. Kedua, untuk penegakan hukum yang efektif, saatnya mewujudkan strong leadership. “Strong leadership ini berbeda dengan otoritarian leadership, karena dalam strong leadership, muncul pemimpin yang berani dan bersih serta berintegritas untuk menegakkan hukum.”
Setelah memaparkan sekitar satu jam, diskusi digelar berlangsung seru karena masyarakat dan mahasiswa yang hadir secara bergiliran menanyakan tanggapan Mahfud soal segala isu yang berkembang akhir-akhir ini di Indonesia. Mulai dari persoalan penegakan hukum yang carut marut, demokrasi dan politik yang selalu gaduh, kasus Lampung, kasus Hambalang, inefisiensi pembangunan gedung DPR, putusan MK tentang pengujian UU Migas yang berimbas pembubaran BP Migas, dan sampai dengan isu surat pengunduran Mahfud dari Ketua MK. (FLS/mh)