Pemerintah menjelaskan bahwa UU Sistem Budidaya Tanaman justru mengakomodir kebutuhan petani dalam pengembangan budidaya tanaman. Dengan adanya pengaturan tersebut, peran petani menjadi sentral dan strategis dalam mengatur budidaya tanaman. “Pengembangan budidaya tanaman dapat dilakukan secara optimal dengan menggunakan teknologi yang tepat seperti yang diatur dalam UU a quo,” jelas perwakilan dari Pemerintah.
Pemerintah juga mengungkapkan dengan adanya UU tersebut justru Pemerintah menggalakkan penelitian untuk mengembangkan budidaya tanaman guna membantu petani. Selain itu, pemerintah dalam menyusun program budidaya tanaman tetap mengikutsertakan masyarakat dengan adanya UU tersebut semakin terarah dengan memperhatikan masyarakat. “Pemerintah tidak pernah melarang petani untuk mengembangkan komoditas tertentu, apabila mengalami kegagalan justru pemerintah mengganti. Mengenai ketentuan tentang plasmanutfah, Pemerintah mempersilakan agar masyarakat mengamankan dan melestarikam plasmanutfah dengan syarat memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU a quo sudah mengakomodir, jika ada yang melanggar sudah semestinya mendapat sanksi pidana agar memberikan efek jera kepada pelaku,” paparnya.
Dalam persidangan tersebut, Pemohon menghadirkan beberapa orang saksi, salah satu di antaranya Dayat dari Kelompok Tani. Menurut Dayat, dengan adanya program hibrida milik Pemerintah memberikan dampak buruk bagi para petani. Dalam keterangannya sambil menunjukkan perbandingan contoh tanah yang menggunakan pupuk organik dengan yang menggunakan pupuk kimia. .”Program hibrida milik pemerintah selalu menyertakan pestisida dengan pupuk kimia memberi dampak bagi petani di sawahnya.Dampak tanah yang menggunakan pemakaian pupuk kimia, di antaranya tanah jadi lengket. Petani jadi sulit mengolah tanah. Selain itu, tanah menjadi cepat kering sehingga berebutan air. Tanah pun menjadi sukar berkembang biak. Tanah organik itu menyerap udara lebih banyak dibanding tanah kimia. Dengan pemakaian pupuk kimia, justru membuat petani sengsara,” jelasnya.
Hal ini mengemuka dalam sidang lanjutan pengujian Undang Undang No.12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (4/12). Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan tersebut dengan Nomor 99/PUU-X/2012. Tercatat beberapa LSM yang bergerak di bidang pertanian mengajukan diri sebagai Pemohon dalam perkara tersebut, yakni Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), dalam hal ini diwakili oleh Widyastama Cahyana, Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit Watch, Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Kunoto yang bekerja sebagai Petani Pemulia Tanaman, serta Karsinah yang bekerja sebagai Petani.
Para Pemohon dalam permohonannya mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 5 ayat (1) huruf a, b, c, d; Pasal 6; Pasal 9 ayat (3); Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 60 ayat (1) huruf a dan huruf b; serta Pasal 60 ayat (2) huruf a dan huruf b. Menurut Para Pemohon, agenda penelitian untuk menemukan benih-benih baru tidak melibatkan petani sebagai subjek tanpa memperhitungkan kepentingan petani. Penelitian tersebut hanya bersumber pada bisnis semata. Benih-benih petani hanya digunakan sebagai sumber penelitian-penelitian tanpa memperhitungkan sumbangan petani pada keragaman benih-benih pertanian yang sudah ada. Pengetahuan petani dan kreatifitasnya dalam pemuliaan tanaman akan mati akibat kegiatan pengembangan, pencarian dan pengumpulan sumberdaya genetik pertanian harus mendapatkan izin. Sementara petani sebagai individu disamakan dengan perusahaan benih dalam memperoleh izin, dalam kenyataan hanya perusahaan yang bisa mendapatkan izin. (Lulu Anjarsari/mh)