Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Peradilan Anak) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (3/12) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara dengan Nomor 110/PUU-X/2012 ini dimohonkan Mohammad Saleh selaku Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).
Dalam sidang perbaikan permohonan, Pemohon menjelaskan telah melakukan beberapa perbaikan sesuai saran Majelis Hakim Konstitusi pada sidang sebelumnya. Terkait kedudukan hukum, Pemohon mengubah kedudukan hukumnya menjadi warga negara perseorangan. “Kemudian juga Pemohon telah mencantumkan pasal dalam UUD 1945 sebagai batu uji. Pasal 96, Pasal 100 dan Pasal 101 UU Sistem Peradilan Anak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24D ayat (1) dan Pasal 28I UUD 1945,” jelasnya.
Terhadap implikasi UU politik mengenai kriminalisasi hakim, maka telah melanggar independensi peradilan dan hakim seperti yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Kemudian Pasal 96 UU Sistem Peradilan Anak melanggar prinsip jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara termasuk hakim dalam menjalankan tugasnya yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Terhadap implikasi politik kriminalisasi pasal dapat dikategorisasikan sebagai perbuatan diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dalam konklusinya, Pemohon menyimpulkan pembuat UU melakukan kriminalisasi terhadap hakim melalui berlakunya Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU Sistem Peradilan Anak dan melanggar independensi hakim dan peradilan,” paparnya.
Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Achmad Sodiki mengesahkan lima alat bukti yang diajukan oleh Pemohon. “Nantinya permohonan ini akan kami laporkan ke Rapat Permusyawaratan Hakim dan akan dibahas apakah akan dilanjutkan atau cukup sampai sidang ini saja. Nanti Kepaniteraan yang akan menghubungi Saudara kembali,” jelasnya.
Pemohon dalam permohonannya mendalilkan bahwa Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU Sistem Peradilan Anak lebih ditekankan pada penilaian emosional (the emosionally laden value judgment approach) para Pembentuk Undang-Undang. Penilaian emosional ini tidak memiliki tujuan yang jelas dan tidak disertai pertimbangan apakah seimbang/sesuai antara upaya kriminalisasi dengan tujuan yang ingin dicapai. Politik kriminalisasi dalam menetapkan perbuatan sebagai suatu tindak pidana dalam ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA tidak lagi diorientasikan pada kebijakan (policy oriented approach) maupun pada nilai (value judgment approach). Ketentuan tersebut tidak memuat asas-asas kriminalisasi, dan tujuan dari pemidanaan/keberadaan/fungsi hukum pidana, sehingga rumusan dalam ketentuan tersebut tidak mencerminkan asas keadilan.
sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 6 Ayat (1) Huruf g UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Upaya kriminalisasi ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA merupakan bentuk kelebihan kriminalisasi, karena pasal-pasal tersebut pada prinsipnya tidak memenuhi syarat/kriteria kriminalisasi, karena lebih bersifat administrasi. Upaya kriminalisasi ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA merupakan bentuk kelampauan batas dari hukum pidana, karena penggunaan hukum pidana dalam ketentuan tersebut sudah melewati batas kewenangannya. (Lulu Anjarsari/mh)