Dahulu sebelum era reformasi, kebebasan pers tidak ada. Bukan hanya dalam praktik tetapi juga tidak ada dalam konstitusi. Namun dengan amandemen UUD 1945, kata Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, kebebasan pers tersebut telah dijamin secara resmi dalam ketentuan-ketentuan yang ada pada konstitusi.
Demikian sepenggal paparan inti yang disampaikan oleh Mahfud dalam orasinya yang dilanjutkan dengan diskusi dengan ratusan jurnalis televisi dari sejumlah daerah di Indonesia, Minggu (2/12), di Hotel Millenium Jakarta. Orasi tersebut disampaikan dalam acara Kongres ke-4 Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia bertajuk “Jurnalis Televisi di Era Konvergensi Media”.
Hasil dari amandemen tersebut, lanjut Mahfud, para jurnalis sekarang ini bisa merasakan dan menikmati buah dari perubahan UUD 1945 tersebut. “Sekarang kita sudah menikmati kebebasan pers,” terang Guru Besar Universitas Islam Indonesia ini.
Mahfud kemudian mengisahkan bahwa sebelum UUD 1945 mengalami amandemen, dirinya pernah melakukan penelitian yang kemudian ditulis dalam disertasinya, yakni sebagai syarat lulus pendidikan doktoral (S3). Antara lain dalam disertasinya itu, Mahfud mengupas bagaimana praktik era Orde Lama dan era Orde Baru.
Menurutnya, terjadi sistem otoriter dalam pembuatan produk hukum yang konservatif. Dimana pembuatan hukum tersebut didominasi oleh lembaga-lembaga secara sepihak dan rakyat tidak dikutsertakan dalam pembuatan tersebut. “Pembuatannya itu tidak partisipatif, dan tidak menghambarkan kehendak masyarakat. Penafsirannya terlalu longgar tetapi yang boleh menafsir hanya pemerintah. Dan itu hasil penelitian yang saya selesaikan,” tutur Mahfud MD.
Sementara dalam konteks kebebasan pers, ujar Mahfud, karakter hukum konservatif sangat tampak sekali. Karena dalam UUD 1945 sebelum amandemen, Undang-Undang (UU) terkait dengan pers hanya satu pasal. Itupun, kata Mahfud, sebenarnya memberi kewenangan kepada pemerintah untuk meniadakan kebebasan pers. ”UU tersebut mengekang terhadap kehidupan pers,” terangnya.
Pada waktu itu, Mahfud mengakui bahwa keberadaan pers memang dikebiri dan dilarang untuk perkembang. Namun untuk sekarang, para jurnalis sudah merasakan kebebasan tanpa ada pembatasan dalam konstitusi. “Sekarang saudara itu sudah bebas. Karena begitu reformasi dilakukan, UU tentang pers dicabut kemudian diganti dengan yang baru,” ujarnya.
Lebih dari itu, Mahfud menambahkan, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi juga memperkuat UU pers. Harapannya, kata dia, setiap pengekangan terhadap kebebasan berekspresi bisa ditiadakan. “Itu sebabnya kita beberapa kali mencabut dan membatalkan ketentuan kitab hukum pidana. Bahkan, kita juga menyatakan kalau mau menyita barang cetakan harus minta ijin pengadilan,” ujarnya.
Ancaman Pers
Sayangnya, kata Mahfud, walaupun kebebasan pers berkembang pesat, masih ada sejumlah ancaman yang muncul di tengah-tengah bangsa ini. Diantaranya berasal dari negara. Kata dia, meskipun sudah aturan yang jelas terkait dengan kebebasan pers, masih ada sebagian aparat pemerintah yang bersikap sewenang-wenang terhadap pers.
Mahfud juga mengatakan, ancaman selanjutnya berasal dari kapital atau pemilik modal yang mempunyai media pers tersebut. Katanya, para pemilik modal sering mendistorsi informasi-informasi yang seharusnya diperoleh oleh masyarakat. Dan, ancaman yang ketiga adalah dari masyarakat itu sendiri.
Kemudian mengapa sejumlah ancaman itu muncul, kata Mahfud, karena di saat amandemen UUD 1945, para perumus lupa tidak mencantumkan perlindungan terhadap kebebasan pers. “Lupa dalam kebebasan itu ada ancaman bagi kebebasan pers. Jadi tidak membuat perlindungan,” ucap Mahfud jelang mengakhiri paparannya. (Shohibul Umam/mh)