Sebagian orang berpendapat kebebasan pers sebagai salah satu wujud demokrasi. Namun, di tengah kondisi Indonesia yang saat ini tergolong demokratis ternyata kebebasan pers tak luput dari ancaman. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, secara pribadi mengatakan ada beberapa hal yang dapat mengancam kebebasan pers saat ini.
Pertama, Negara. Mahfud menilai walau ada peraturan yang menjamin kebebasan pers seperti UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers, namun tindak kekerasan terhadap wartawan kerap terjadi. Ada tindakan oknum aparat negara yang sewenang-wenang terhadap awak jurnalis, terutama di daerah. Kemudian adanya pembiaran terhadap kelompok yang melakukan tindak kekerasan terhadap wartawan. Tapi, secara umum Mahfud menilai ancaman negara terhadap pers tidak sebesar di masa pemerintahan sebelum reformasi.
Kedua, ancaman pemilik modal. Bagi Mahfud, ancaman pemilik modal bukan hanya berkaitan langsung dengan si wartawan tapi juga informasi yang disajikan ke masyarakat. Misalnya, wartawan menemukan temuan yang bagus untuk diinformasikan kepada masyarakat. Namun, karena pengaruh dari kepentingan pemilik modal, informasi itu didistorsi.
Menurutnya, praktik seperti itu tidak baik untuk masyarakat sebagai pengguna informasi. Oleh karena itu hal penting yang harus dilakukan adalah memberi kesadaran kepada semua pihak untuk menghindari praktik buruk tersebut.
Ketiga, ancaman yang timbul dari kelompok masyarakat. Misalnya, melakukan penganiayaan dan teror terhadap wartawan yang menjalankan tugasnya.
Mahfud berpendapat, berbagai ancaman itu muncul salah satunya diakibatkan oleh lemahnya ketentuan dalam UU Pers untuk melindungi wartawan. Menurutnya, UU Pers tidak memberi penekanan perlindungan wartawan, namun lebih fokus pada kebebasan pers.
Mengingat UU Pers dilahirkan dalam semangat reformasi, bisa jadi, unsur perlindungan terhadap wartawan terabaikan. Sehingga kebebasan pers menjadi tujuan utama yang ingin dicapai lewat UU tersebut. "Lupa bahwa di dalam kebebasan itu ada ancaman bagi wartawan," kata dia dalam diskusi yang digelar Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) di Jakarta, Minggu (2/12).
Penyebab lain terjadinya ancaman itu menurut Mahfud karena tumpang tindih hukum. Misalnya, terjadi pelanggaran dalam pemberitaan, kemudian perturan mana yng mau digunkn untuk melkukan penindakan. Apakah KUHP atau UU Pers. Alhasil, ketika kasus itu berlanjut, tafsir yang digunakan untuk tiap kasus pun berbeda-beda di tiap pengadilan.
Dalam rangkaian diskusi itu, anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, lebih fokus menyoroti ancaman kebebsan pers yang dilakukan oleh negara. Menurutnya, negara dapat menerbitkan regulasi yang mengancam kebebasan pers. Seperti RUU Keamanan Nasional (Kamnas) dan UU Intelijen. Walau tidak secara khusus ditujukan untuk memberangus kebebasan pers, Agus melihat berbagi regulasi itu berpotensi besar memberi ancaman bagi kebebasan pers.
Misalnya, definisi keamanan nasional dalam RUU Kamnas yang multitafsir. Agus berpendapat wartawan yang memberitakan adanya indikasi korupsi sebuah lembaga negara lalu ada pihak pemerintahan yang menganggap berita itu sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Kemudian si wartawan ditangkap.
Begitu pula dengan UU Intelijen. Walau sampai sekarang Agus melihat UU Intelijen belum digunakan untuk menggebuk kebebasan pers, namun Agus yakin sejumlah ketentuan dalam peraturan itu dapat mengancam kebebasan pers. Ancaman negara dalam bentuk lain menurut Agus terkait soal pembiaran atas kasus kekerasan terhadap wartawan. Menurutnya, jika negara terus melakukan pembiaran, maka impunitas terhadap pelaku kekerasan akan terjadi. Sehingga, tindak kekerasan terhadap wartawan akan terus berulang.
"Itu bahaya laten (terhadap kebebasan pers,-red)," ucapnya.
Atas dasar itu, Agus melihat ancaman negara terhadap kebebasan pers saat ini patut disoroti. Sebagai salah satu upaya untuk menghadapi berbagai ancaman itu Agus mengimbau agar pemangku kepentingan di bidang pers saling berkoordinasi. Seperti organisasi pers dan orgnisasi wartawan dapat melakukan pencegahan dan penanganan yang cepat ketika terjadi kasus, terutama tindak kekerasan yang menimpa wartawan.