Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang tidak pernah menyatakan masyarakat non-muslim adalah bukan bagian dari bangsa ini. Tetapi justru ia menegaskan dan menerima fakta bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikultural dan majemuk. Mau hidup bersama di dalam perbedaan, serta memiliki ikatan primordial yang berbeda tetapi masih bisa bersatu sama lain.
Demikian salah satu paparan penting yang disampaikan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, ketika menjadi Keynote Speaker Seminar Nasional: Bonus Demografi, Pemuda dan Penguatan Pilar Kebangsaan dengan tema “Ancaman Radikalisasi dan Penguatan Pilar Kebangsaan”, Jumat (30/11) pagi, di MT Haryono Square, Jakarta.
Seminar Nasioanal ini terselenggara atas kerja sama Dewan Koordinasi Nasional (DKN) Garda Bangsa dengan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa di MPR RI, beserta Dewan Pinpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa. Hadir dalam acara ini, Ketua Fraksi PKB Marwan Ja`far, Ketua DKN Garda Bangsa Hanif Dhakiri beserta jajarannya, dan ratusan peserta seminar nasional yang memadati gedung acara tersebut.
Mahfud dalam pemaparannya juga mengatakan, NU dahulu secara aktif ikut melakukan gerakan politik dengan terlibat langsung dalam aktifitas Majelis Islam A’la Indonesia, sebuah organisasi yang membawa kepentingan-kepentingan politik di zaman Hindia-Belanda kala itu.
Hal demikian dilakukan oleh NU, ujar Mahfud, disebabkan politik itu adalah fitrah manusia, yang mengakibatkan berpolitik adalah sebuah keharusan dan tidak bisa dihindari. “Tidak bisa orang hidup tidak berpolitik, karena politik itu adalah fitrah manusia,” teranganya. “Oleh karena itu, jangan saudara membutakan diri pada persoalan-persoalan politik. Saudara harus punya pilihan sikap,” pesan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ini.
Disisi lain, Mahfud mengakui bahwa politik sekarang ini memang mengalami berbagai persoalan. “Kata orang, politik itu kotor,” ujarnya. Disebabkan, lanjut Mahfud, situasi politik yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini tidak kondusif untuk membangun sebuah bangsa. “Disini saudara harus terpanggil untuk memperbaiki bahwa politik itu tidak kotor seharusnya,” pinta Mahfud kepada para peserta yang mayoritas warga NU tersebut.
Untuk meyakinkan lagi, Mahfud memberikan contoh kepada para peserta bahwa dahulu pendiri NU, Hasyim Asy`ari, serta Wahid Hasyim (Menteri Agama pertama) juga pernah berpolitik. Dalam hal ini, Hasyim Asy`ari melakukan politik yang bersih dengan membuat resolusi jihad pada saat itu demi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Hasyim Asy`ari, kata Mahfud, memperjuangkan politik dengan memakai dalil Amar Ma`ruf Nahi Mungkar. Namun demikian untuk melakukan politik, imbuh Mahfud, Hasyim tidak bisa tanpa adanya negara. Sehingga negara itu wajib didirikan. “Kalau negara tidak merdeka, tidak bisa dong Amar Ma`ruf Nahi Mungkar dilaksanakan,” ucapnya.
Kemudian, Mahfud melanjutkan lagi, dalam menjaga keamanan dan ketentraman bangsa dan negara Indonesia. Ada empat pilar yang biasa dilakukan dalam penguatan politik kebangsaan. Namun menurutnya, kalau secara ilmiah agak kurang tepat menyebut Pancasila sebagai pilar. Sebab Prof. Notonegoro sudah mengatakan sebenarnya Pancasila itu adalah fundamen negara, bukan pilar negara.
Selain Pancasila, menurut Mahfud, pilar selanjutnya adalah NKRI. Kemudian bagaimana supaya NKRI ini kuat, maka ada Konstitusi. Dan, bagaimana NKRI dan Konstitusi ini berlaku baik di dalam kehidupan bermsyarakat maka harus dikembangkan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
“Kalau saudara menggunakan empat pilar ini, tanpa mempersoalkan ilmianya sekarang, maka negara ini akan selamat. Pertahankan Pancasila, yang menguatkan toleransi terhadap perbedaan-perbedaan,” terangnya. “Itu yang selalu dilakukan oleh NU, dan semua anak-anak organisasinya. Dan ini harus dijaga,” urai Ketua MK ini. (Shohibul Umam/mh)