Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (28/11). Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 93/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Dadang Achmad.
Dalam sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan dari Pemerintah, DPR, dan Ahli/Saksi, DPR yang diwakili oleh Adang Darajatun menjelaskan bahwa Pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah telah memberikan alternatif penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan di lingkungan peradilan agama, baik jalur non-pengadilan maupun melalui pengadilan di peradilan umum. Menurut Adang, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan agama, pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama, antara orang-orang yang beragama Islam, di antaranya di bidang ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah.
“Pada praktiknya, dalam proses berperkara di pengadilan agama pun tidak dimunafikkan adanya pilihan dalam hal perkara sengketa keperdataan, terkait dengan proses perkara di lingkungan peradilan umum. Bahkan pengadilan agama menghormati keputusan pengadilan tersebut. Hal ini tergambar dalam ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang berbunyi, ayat (1), ‘Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum’,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Dalam penjelasan pasal ini, lanjut Adang, dinyatakan pula bahwa apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan menjadi subjek bersengketa di pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan peradilan umum. “Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di pengadilan agama. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pilihan hukum dalam proses penyelesaian sengketa adalah dimungkinkan dan tidak mengurangi kepastian hukum bagi para pihak,” paparnya.
Sementara itu, Pemerintah yang diwakili oleh undang-undang tersebut justru sangat menghargai perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dalam hal pemilihan forum penyelesaian sengketa yang ditujukan apabila pada suatu ketika terjadi sengketa antara pihak-pihak. Asas ini adalah asas universal yang masih diakui oleh masyarakat umum. Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada prinsip syariah. Selain itu, ketentuan tersebut akan lebih mendorong masyarakat umum untuk menggunakan jasa perbankan syariah. Hal ini dikarenakan kegiatan usaha dan nasabah perbankan syariah tidak hanya ditujukan bagi masyarakat yang beragama Islam, akan tetapi juga ditujukan bagi masyarakat yang bukan beragama Islam, sehingga dibukalah penyelesaian sengketa di luar peradilan agama dengan ketentuan tetap sesuai dengan prinsip syariah.
“Berdasarkan penjelasan tersebut, menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Perbankan Syariah dimaksudkan untuk memberikan pilihan-pilihan sarana penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah dengan tetap menerapkan rambu-rambu sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Sehingga hal demikian telah memberikan kepastian hukum dan tidak bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” urainya. (Lulu Anjarsari/mh)