Dalam berbagai peristiwa terutama menyangkut eksploitasi sumber daya alam, kehutanan, perikanan, banyak masyarakat tradisional merasa hak-haknya dipinggirkan. Oleh sebab itu Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusan yang diberikan melakukan pemihakan kepada mereka yang kurang diuntungkan dalam proses eksploitasi sumber daya alam dan kehutanan.
Demikian disampaikan Wakil Ketua MK Achmad Sodiki saat menjadi Keynote Speaker Kongres Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Revitalisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Komunitas Adat, dan Tradisi, Perannya bagi Pembangunan Karakter dan Jati Diri Bangsa” yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bertempat di The Square Ballroom Surabaya, (25/11). Acara berlangsung empat hari ini dihadiri antara lain narasumber Gubernur Lemhanas Budi Susilo Supandji dan Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf.
Menurut Sodiki, eksploitasi yang dilakukan tidak boleh meminggirkan hak-hak masyarakat tradisional. Tidak adil masyarakat adat yang turun temurun bertempat tinggal di suatu daerah, bahkan sebelum lahir negara merdeka, dienyahkan begitu saja dari tanah leluhurnya. “Sebenarnya Konstitusi sudah mengatur perlindungan masyarakat adat demikian,” tegas Sodiki. Bahkan komunitas adat dan tradisi yang sebagian hidup dalam keadaan terpinggirkan seharusnya mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus memperoleh kesempatan dan manfaat sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Perlakuan khusus tersebut, kata Sodiki, sering disebut “affirmative action” untuk melindungi gempuran peminggiran yang dilegalkan. Namun, bukan berarti isolasi atau konservasi yang menyebabkan komunitas adat dan tradisi tertinggal dari pengaruh yang positif. “Merekapun merupakan bagian dari rakyat Indonesia sebagai suatu kesatuan, yang harus semakin sadar politik, sadar bernegara, sehingga perlakuan khusus tersebut harus bermakna pula pemberdayaan. Artinya tingkat kesejahteraan dan kemakmuran yang mencakup antara lain pendidikan, kesehatan, kecukupan sandang pangan dan papan yang semakin baik memungkinkan mereka lebih mampu mengadvokasi diri mereka dari segala pengaruh yang kurang baik dari luar komunitas mereka,” terang Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang ini.
Semakin tertutupnya jurang perbedaan tersebut, Sodiki menjelaskan, akan menampilkan sosok masyarakat bersama yang terhindar dari berbagai konflik sosial yang mengancam persatuan bangsa. Jiwa dan karakter bangsa yang mengedepankan sifat kejujuran, sifat hemat, menghargai waktu, toleransi, yang menjadi dasar kehidupan bersama dalam Pancasila akan semakin nampak nyata.
Selain menyampaikan perlindungan komunitas dan tradisi, Sodiki juga mengemukakan dasar konstitusional yang telah dijamin konstitusi. Bahkan, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan dasar pertama filosofi bangsa. Bangsa kita terdiri dari berbagai suku, agama, kepercayaan dan lainnya sehingga tafsir mengenai kepercayaan akan beragam pula. “Oleh sebab itu harus ada jaminan terpenuhinya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaannya itu sebagai warga negara yang dijamin sama kedudukannya di hadapan hukum.”
Sodiki dalam kesempatan ini mengingatkan, kebebasan itu bukan tiada batas, tetapi dibatasi kebebasan orang lain. Hak asasi manusia walaupun telah dijamin, terang Sodiki, harus tetap dilihat dari kacamata serta praktek ketatanegaraan Indonesia yang akseptabel dan adil. Menurut Sodiki, betapa penting peran negara disini. “Jika terjadi gesekan yang berlatar belakang agama dan kepercayaan maka negara harus tampil agar keamanan dan ketertiban umum tetap terjamin,” jelasnya.
Masuknya nilai nilai asing atas kehidupan kita, Sodiki berpesan agar nilai-nilai tersebut disaring sesuai nilai dan budaya Indonesia. Selanjutnya, era globalisasi yang didominasi aspek ekonomi, hendaknya tidak semata-mata diukur dari income-percapita atau prosentase laju pertumbuhan ekonomi. Sodiki menyatakan, segi religiositas masyarakat dan nilai-nilai luhur berasaskan kekeluargaan, musyarawarah dan mufakat, perlu dipertahankan. “Kewajiban kita bersama termasuk apara Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk berperanan aktif, memelihara budaya malu berbuat tercela yang sangat merugikan bangsa,” ingat Sodiki. (Miftakhul Huda)